Kamis, 12 Desember 2013

[Cerpen] Last Love to My First Love



Hari ini aku disini
Berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada
Yang telah membakar seluruh jiwa

Sebait lirik lagu dari salah satu band papan atas di Negara Indonesia. Lagu yang memberikan harapan baru untukku. Sebuah harapan agar Tuhan berkenan menunjukkan kemurahan hati-NYA padaku. Setidaknya sampai aku mampu membahagiakan orang-orang di sekitarku, orang-orang yang aku sayangi dan tentunya juga sangat menyayangiku.
Mungkin bagi kalian hidupku seperti sebuah drama yang menyedihkan. Yah, kadang aku juga berpikir demikian. Di usia yang masih muda, usia yang seharusnya dapat aku gunakan untuk bersenang-senang dan mencari pengalaman, namun harus aku habiskan di sebuah ruangan segi empat ini. Terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.
“Haru-kun, kau mendengarkanku?”
Aku langsung menoleh ke samping kiri, seorang gadis cantik terlihat mengerucutkan bibir menatap kesal ke arahku. Aku terkekeh melihatnya, dia nampak begitu menggemaskan. Dan tentu saja tindakanku menjadikan dia semakin kesal.
TUK.
“Argh… sakit Chi-san. Mengapa kau menjitakku?”
“Agar kau segera sadar, kau menyebalkan.” Rutuknya. Sedetik kemudian dia memalingkan wajah, melihat ke luar jendela. Entahlah apa yang dia lihat di luar sana, aku tak bisa menebak ekspresi wajahnya. Satu hal yang pasti, dia sedang merajuk.
Tanganku melayang ke udara lalu dengan lembut ku daratkan di puncak kepala Chiaki, ku usap pelan rambutnya. Dia menoleh sekilas, segera ku tampilkan senyum terbaikku. “Gomenasai1, kau marah?”
Dia mendesah pasrah, lalu menarik tanganku membawa ke pipinya yang mulus. Diusapkan  perlahan, matanya mengatakan dia ingin menyalurkan kehangatan dan juga kekuatan.


Ku coba resapi, ku coba salami, segala yang telah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan nikmatnya dan ku coba untuk hadapi

Chiaki Minata, gadis keturunan Jepang yang aku temui secara tidak sengaja di tanah kelahiranku, Indonesia. Dan sejak sebulan yang lalu, dia menyusulku kemari. Menemaniku melewati cobaan yang aku hadapi. Aku beruntung memilikinya, dia gadis yang baik. Tujuh tahun kami menjalin hubungan special, kami dipertemukan secara tidak sengaja saat aku menjalani perawatan di rumah sakit ternama di Jakarta. Saat itu Chiaki sedang dirawat setelah mengalami kecelakaan, dan kami bertemu di taman rumah sakit.
“Haru-kun, kamu memikirkan apa? Dari tadi kau tak mengacuhkanku? Kalau kau sedang ingin sendiri, aku pulang saja.”
Dihempaskannya tanganku, dia beranjak berdiri menuju pintu. Refleks aku menarik tangannya, membawanya ke dalam pelukanku. “Jangan pergi,” aku mengambil jeda sejenak. “Aku bosan di kamar, ayo jalan-jalan ke taman.” Ajakku.
Ku tatap tepat ke manik mata Chiaki, dia mengangguk setuju. Lalu membantuku duduk di atas kursi roda. Didorongnya kursi rodaku menuju taman rumah sakit, tempat yang sedikit mengurangi kebosananku pada tempat ini. Kebetulan saat ini sedang musim gugur, pemandangan yang disuguhkan sangat indah. Guguran daun pohon Maple yang berwarna coklat menjadi daya tarik tersendiri bagiku.
“Haru-kun, apa tidak masalah kita ke taman? Udara di sana sangat dingin. Aku takut…”
Aku menengok ke belakang, memastikan Chiaki masih disana karena mendadak aku tak merasakan kursi roda ini berputar. Chiaki berdiri dalam diam, ku genggam tangan kanannya. Dia menatapku sendu, aku tahu betul kekhawatirannya.
“Tidak apa-apa Chi-san, bukankah tadi kau dengar kata Dokter. Kondisiku stabil, jangan terlalu khawatir seperti itu. I will survive, I will revive I won't surrender and stay alive. Tersenyumlah, kau berikan kekuatan untuk lewati semua ini.”
“Ck, Haru-kun kau mengutip lagu milik Bondan Prakoso. Sesekali cobalah mengatakan suatu hal dari pemikiranmu sendiri.”
“Hehehe,” aku tertawa mendengar perkataan Chiaki. Aku tak menyangka dia mengetahuinya. “Kau tahu lagu itu? Ah, padahal aku sudah mencoba bersikap romantis.” Keluhku lalu memasang wajah seolah-olah kecewa.
Chiaki ikut tertawa, lalu mencubit gemas kedua pipiku. “Kau sudah berumur dua puluh tahun lebih Haru-kun, tidak pantas memasang wajah seperti itu. Tidak lucu sama sekali.”
“Benarkah tidak lucu? Lalu mengapa kau tertawa?”
“Aku tidak tertawa,” Chiaki mengembalikan ekspresi muka seperti tak terjadi apa-apa. “Sudahlah, jangan mengada-ada. Ayo segera duduk di bangku itu.”
Dia menunjuk salah satu bangku yang terletak tepat di sebelah pohon Maple. Chiaki kembali mendorong kursi rodaku menuju salah satu bangku yang berada di sisi Timur taman tersebut.

Hari ini kan ku pastikan aku masih ada disini
Mencoba lepaskan coba bebaskan segala rasa perih di hati
Ku coba resapi, ku coba hayati, segala yang telah terjadi

Sebait lirik dari Bondan kembali menyemangatiku. Selain itu kehadiran Chiaki yang selalu disampingku memberikan efek khusus pada siklus hidupku. Sejak remaja aku sudah sangat paham akan masa depanku. Penyakit yang hari demi hari terus menggerogoti kesehatanku belum ditemukan obatnya, hanya keajaiban yang akan menyelamatkanku. Dan aku sudah menerima garis takdir yang dituliskan untukku.
“Chi-san, kau ingat pertemuan pertama kita?” tanyaku memecah kesunyian di antara kami.
“Hem, tentu aku mengingatnya.”
“Di Indonesia tidak ada musim gugur, seandainya kita bertemu di sini saat itu pasti suasananya seperti ini kan?”
Hening. Chiaki tidak menanggapi ucapanku. Aku tak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan, mungkin dia membayangkan pertemuan pertama kami.

Flashback
Aku berjalan di sekitar taman rumah sakit, mencoba mengusir rasa bosan yang menyergapku. Langit terlihat mendung, sebentar lagi mungkin akan meneteskan air mata. Tapi hal itu tak menyurutkan keinginanku untuk beranjak dari sini. Karena sibuk menatap langit, tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
“Maaf,” ucapnya singkat. “Aku kurang berhati-hati. Sekali lagi maafkan saya.” Lanjutnya.
Aku tak berkedip memandang sosok di hadapanku ini. Gadis bermata sipit dengan rambut sebahu, kulitnya putih, aku rasa dia bukan warga asli Negara ini. Mungkin dia keturunan Jepang atau Korea, postur tubuhnya sangat mirip orang-orang sana.

“Tak ku sangka aku bisa memiliki teman yang seorang keturunan, tentu saja sama sepertiku, Indo-Jepang.”
“Aku senang saat itu menemukan teman sepertimu,” dia sejenak terlihat berpikir, “Jujur aku tidak menyukai rumah sakit. Karena rumah sakit mengingatkanku pada kematian ibuku. Tapi sejak bertemu denganmu,” dia kembali mengambil jeda lalu menoleh ke arahku. “Aku sedikit menyukai rumah sakit. Karena rumah sakit telah mempertemukanku denganmu.”
Aku tersenyum mendengar penjelasan Chiaki. Dia telah menceritakan semua hal mengenai keluarganya, aku sangat memahaminya. Chiaki, dia merindukan sosok ibu dalam hidupnya. Perlahan ku letakkan kepalanya di dadaku, ku peluk tubuh mungilnya. Mencoba memberikan kekuatan dan kehangatan kasih sayang.
“Kau merindukan ibumu? Apa kau mau aku menemanimu menemuinya? Bukankah kau pernah cerita jika ibumu di kuburkan di Kyoto?”
Ku rasakan dia menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Kita bisa kapan saja ke sana, sekarang yang terpenting kau sembuh dulu. And I want you to know there’s always fine to alive. Getting stronger, stay alive.
“Hei, sekarang siapa yang mengutip?” godaku. “Aku tidak tahu kau juga menyukai lagu-lagu Bondan, sejak kapan?”
“Sejak aku mengetahui kekasihku sangat menyukai lagu-lagunya. Aku mulai mencari semua yang bersangkutan dengan Bondan. Dan lagu ini menjadi favoritku.”
Aku semakin erat memeluk Chiaki, aku tahu betul alasan di balik kesukaannya pada lagu ini. Lirik lagu ini sarat akan perjuangan seseorang untuk bertahan hidup, sepertiku.
“Chi-san, kau tahu kan kalau sakitku…”
“Ssstt… Aku tahu itu, tidak perlu kau jelaskan lagi. Karena… jika kau… kau mengatakannya aku akan… hiks… aku akan…”
“Gomen, aku tak bermaksud membuatmu sedih. Aku hanya ingin kau siap pada kemungkinan terburuk itu. Jangan menangis lagi, aku tak akan membiarkan mata indah itu meneteskan buliran air mata untukku. Air mata itu terlalu berharga. Aku akan sangat berterima kasih jika kau melepaskanku dengan senyuman. Kau terlihat jauh lebih cantik saat tersenyum.” Jelasku lalu ku kecup kening Chiaki setulus hati. Menenangkannya agar tak bersedih lagi.

Kau yang Esa, yang perkasa
Give me wisdom to survive

Satu hal yang dapat aku lakukan saat ini, berharap kemurahan hati Tuhan untuk kami. Aku berharap Chiaki menemukan laki-laki lain sebelum aku meninggalkan dunia ini. Hal itu membuatku sedikit tenang, karena akan ada seseorang yang menopangnya saat terjatuh. Saat aku tak bisa memeluknya ketika dia menangis, saat aku tak bisa membuatnya tertawa ketika dia sedang kesal.
“Chi-san, aku punya sesuatu untukmu,” ku keluarkan kotak kecil berwarna biru muda dari sakuku. “Bukalah ini saat aku sudah tak ada di sampingmu, dan aku mohon jangan lagi mengeluarkan air mata untukku. Mengerti? Aku akan tenang jika kau mau mengantar kepergianku dengan senyumanmu.” Jelasku lagi. Dia menerima kotak pemberianku, tangannya menyentuh telapak tanganku. Aku mengeratkan genggaman jemariku, enggan melepaskan genggaman tangan kami.
Mataku semakin berat, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga. Perlahan-lahan aku tundukkan kepalaku. Seolah memiliki ikatan batin, Chiaki memejamkan matanya. Tangan kami masih saling menggenggam.
CUP. Ku tempelkan bibirku tepat di atas bibir Chiaki, hanya menempel. Selang beberapa menit semua semakin gelap. Waktuku di sini telah habis, pikirku.


Next month

To Chi-san, My Love

Chi-san, saat ini kau tidak sedang menangisiku kan? Apa kau merindukanku? Aku sangat yakin kau pasti merindukan kekasihmu yang tampan ini bukan?
Chi-san,
Gomen, aku tak bisa menepati janji kita. Aku sudah berjanji akan menikahimu saat kita lulus kuliah, tapi sepertinya takdir berkata lain. Aku rasa, bila saat itu tiba aku sudah tak di sampingmu. Bukankah ini kejam?
Gomen karena aku selalu membuatmu menangis. Aku merutuki kebodohan tersebut. Seharusnya aku tidak egois dan mengikatmu seperti ini. Bagaimana mungkin aku memintamu menjadi kekasihku jika akhirnya aku hanya menjadikanmu beban.
Chi-san,
Arigatou2 kau mau menerima lelaki penyakitan ini menjadi kekasihmu. Kau adalah hadiah terindah yang dikirimkan Tuhan untukku. Tahukah kau betapa bahagianya aku saat kau mengatakan jika kau juga menyukaiku?Aku bahkan tak bisa tidur semalaman. Selama 12 tahun menghirup oksigen di dunia ini, baru pertama kali aku merasakan sensasi seeprti ini. Debaran jantung tak terkontrol, keringat dingin yang mengucur, dan perasaan gugup saat bersamamu. Kaulah cinta pertamaku.


Chi-san,
Aku ingat betul sebulan sebelum bertemu denganmu, vonis dari dokter yang mengatakan aku tak akan bisa melewati umur 20 tahun membuatku frustasi. Tetapi setelah bertemu denganmu, aku berharap aku bisa hidup lebih lama. Agar aku bisa selalu melihatmu tersenyum. Kanker memang penyakit yang ganas dan kapan saja bisa mengambil nyawaku, tapi semenjak bersamamu, aku selalu berdoa agar diberi cukup waktu untuk membuatmu bahagia.


Chi-san,
Jangan terlalu lama bersedih, cepatlah bangkit dan cari penggantiku. Jika terlalu sulit melupakanku, cukup kenang aku dalam hatimu. Simpan aku di sudut hatimu paling dalam, namun sisi yang lain isilah dengan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Seorang laki-laki yang mampu menjagamu. Dan akan selalu membuatmu tersenyum saat kau menangis karena mengingatku. Ah, atau kau akan melupakanku? Jika iya, aku tidak apa-apa. Karena bagaimana pun aku hanyalah sekeping bagian dari masa lalumu, dan dia adalah masa depanmu.
Chi-san,
Berjanjilah padaku kau akan selalu berbahagia. Sesekali tengoklah kedua orangtuaku, anggaplah ibuku sebagai ibumu. Beliau pasti akan sangat senang jika kau melakukan hal itu. Dan memiliki dua Ayah bukankah menyenangkan? Hehehe~~
Chi-san, aishiteru3. I will always love you.

Your Love, Haru Keichiro



Glosarium
1.      Maaf
2.      Terima kasih
3.      Aku mencintaimu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar