Hari ini aku disini
Berjuang untuk bertahan
Padamkan luka dan beban yang ada
Yang telah membakar seluruh jiwa
Sebait lirik lagu dari
salah satu band papan atas di Negara Indonesia. Lagu yang memberikan harapan
baru untukku. Sebuah harapan agar Tuhan berkenan menunjukkan kemurahan hati-NYA
padaku. Setidaknya sampai aku mampu membahagiakan orang-orang di sekitarku,
orang-orang yang aku sayangi dan tentunya juga sangat menyayangiku.
Mungkin bagi kalian
hidupku seperti sebuah drama yang menyedihkan. Yah, kadang aku juga berpikir
demikian. Di usia yang masih muda, usia yang seharusnya dapat aku gunakan untuk
bersenang-senang dan mencari pengalaman, namun harus aku habiskan di sebuah
ruangan segi empat ini. Terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.
“Haru-kun, kau
mendengarkanku?”
Aku langsung menoleh ke
samping kiri, seorang gadis cantik terlihat mengerucutkan bibir menatap kesal
ke arahku. Aku terkekeh melihatnya, dia nampak begitu menggemaskan. Dan tentu
saja tindakanku menjadikan dia semakin kesal.
TUK.
“Argh… sakit Chi-san.
Mengapa kau menjitakku?”
“Agar kau segera sadar,
kau menyebalkan.” Rutuknya. Sedetik kemudian dia memalingkan wajah, melihat ke
luar jendela. Entahlah apa yang dia lihat di luar sana, aku tak bisa menebak
ekspresi wajahnya. Satu hal yang pasti, dia sedang merajuk.
Tanganku melayang ke
udara lalu dengan lembut ku daratkan di puncak kepala Chiaki, ku usap pelan
rambutnya. Dia menoleh sekilas, segera ku tampilkan senyum terbaikku.
“Gomenasai1, kau marah?”
Dia mendesah pasrah,
lalu menarik tanganku membawa ke pipinya yang mulus. Diusapkan perlahan, matanya mengatakan dia ingin
menyalurkan kehangatan dan juga kekuatan.
Ku coba resapi, ku coba salami, segala yang telah terjadi
Ku ambil hikmahnya, rasakan
nikmatnya dan ku coba untuk hadapi
Chiaki Minata, gadis keturunan
Jepang yang aku temui secara tidak sengaja di tanah kelahiranku, Indonesia. Dan
sejak sebulan yang lalu, dia menyusulku kemari. Menemaniku melewati cobaan yang
aku hadapi. Aku beruntung memilikinya, dia gadis yang baik. Tujuh tahun kami
menjalin hubungan special, kami dipertemukan secara tidak sengaja saat aku
menjalani perawatan di rumah sakit ternama di Jakarta. Saat itu Chiaki sedang
dirawat setelah mengalami kecelakaan, dan kami bertemu di taman rumah sakit.
“Haru-kun, kamu
memikirkan apa? Dari tadi kau tak mengacuhkanku? Kalau kau sedang ingin
sendiri, aku pulang saja.”
Dihempaskannya
tanganku, dia beranjak berdiri menuju pintu. Refleks aku menarik tangannya,
membawanya ke dalam pelukanku. “Jangan pergi,” aku mengambil jeda sejenak. “Aku
bosan di kamar, ayo jalan-jalan ke taman.” Ajakku.
Ku tatap tepat ke manik
mata Chiaki, dia mengangguk setuju. Lalu membantuku duduk di atas kursi roda.
Didorongnya kursi rodaku menuju taman rumah sakit, tempat yang sedikit
mengurangi kebosananku pada tempat ini. Kebetulan saat ini sedang musim gugur,
pemandangan yang disuguhkan sangat indah. Guguran daun pohon Maple yang
berwarna coklat menjadi daya tarik tersendiri bagiku.
“Haru-kun, apa tidak
masalah kita ke taman? Udara di sana sangat dingin. Aku takut…”
Aku menengok ke
belakang, memastikan Chiaki masih disana karena mendadak aku tak merasakan
kursi roda ini berputar. Chiaki berdiri dalam diam, ku genggam tangan kanannya.
Dia menatapku sendu, aku tahu betul kekhawatirannya.
“Tidak apa-apa Chi-san,
bukankah tadi kau dengar kata Dokter. Kondisiku stabil, jangan terlalu khawatir
seperti itu. I will survive, I will revive I
won't surrender and stay alive. Tersenyumlah, kau
berikan kekuatan untuk lewati semua ini.”
“Ck, Haru-kun kau
mengutip lagu milik Bondan Prakoso. Sesekali cobalah mengatakan suatu hal dari
pemikiranmu sendiri.”
“Hehehe,” aku tertawa
mendengar perkataan Chiaki. Aku tak menyangka dia mengetahuinya. “Kau tahu lagu
itu? Ah, padahal aku sudah mencoba bersikap romantis.” Keluhku lalu memasang
wajah seolah-olah kecewa.
Chiaki ikut tertawa, lalu mencubit gemas kedua pipiku. “Kau
sudah berumur dua puluh tahun lebih Haru-kun, tidak pantas memasang wajah
seperti itu. Tidak lucu sama sekali.”
“Benarkah tidak lucu? Lalu mengapa kau tertawa?”
“Aku tidak tertawa,” Chiaki mengembalikan ekspresi muka
seperti tak terjadi apa-apa. “Sudahlah, jangan mengada-ada. Ayo segera duduk di
bangku itu.”
Dia menunjuk salah satu bangku yang terletak tepat di
sebelah pohon Maple. Chiaki kembali mendorong kursi rodaku menuju salah satu
bangku yang berada di sisi Timur taman tersebut.
Hari ini kan ku pastikan aku masih ada disini
Mencoba lepaskan coba bebaskan segala rasa perih di hati
Ku coba resapi, ku coba hayati, segala yang telah terjadi
Sebait lirik dari Bondan kembali menyemangatiku. Selain itu kehadiran
Chiaki yang selalu disampingku memberikan efek khusus pada siklus hidupku.
Sejak remaja aku sudah sangat paham akan masa depanku. Penyakit yang hari demi
hari terus menggerogoti kesehatanku belum ditemukan obatnya, hanya keajaiban
yang akan menyelamatkanku. Dan aku sudah menerima garis takdir yang dituliskan
untukku.
“Chi-san, kau ingat pertemuan pertama kita?” tanyaku memecah
kesunyian di antara kami.
“Hem, tentu aku mengingatnya.”
“Di Indonesia tidak ada musim gugur, seandainya kita bertemu
di sini saat itu pasti suasananya seperti ini kan?”
Hening. Chiaki tidak menanggapi ucapanku. Aku tak bisa
menebak apa yang sedang dia pikirkan, mungkin dia membayangkan pertemuan
pertama kami.
Flashback
Aku berjalan di sekitar taman rumah
sakit, mencoba mengusir rasa bosan yang menyergapku. Langit terlihat mendung,
sebentar lagi mungkin akan meneteskan air mata. Tapi hal itu tak menyurutkan
keinginanku untuk beranjak dari sini. Karena sibuk menatap langit, tanpa
sengaja aku menabrak seseorang.
“Maaf,” ucapnya singkat. “Aku kurang
berhati-hati. Sekali lagi maafkan saya.” Lanjutnya.
Aku tak berkedip memandang sosok di
hadapanku ini. Gadis bermata sipit dengan rambut sebahu, kulitnya putih, aku
rasa dia bukan warga asli Negara ini. Mungkin dia keturunan Jepang atau Korea,
postur tubuhnya sangat mirip orang-orang sana.
“Tak ku sangka aku bisa memiliki teman yang seorang
keturunan, tentu saja sama sepertiku, Indo-Jepang.”
“Aku senang saat itu menemukan teman sepertimu,” dia sejenak
terlihat berpikir, “Jujur aku tidak menyukai rumah sakit. Karena rumah sakit
mengingatkanku pada kematian ibuku. Tapi sejak bertemu denganmu,” dia kembali
mengambil jeda lalu menoleh ke arahku. “Aku sedikit menyukai rumah sakit.
Karena rumah sakit telah mempertemukanku denganmu.”
Aku tersenyum mendengar penjelasan Chiaki. Dia telah menceritakan
semua hal mengenai keluarganya, aku sangat memahaminya. Chiaki, dia merindukan
sosok ibu dalam hidupnya. Perlahan ku letakkan kepalanya di dadaku, ku peluk
tubuh mungilnya. Mencoba memberikan kekuatan dan kehangatan kasih sayang.
“Kau merindukan ibumu? Apa kau mau aku menemanimu
menemuinya? Bukankah kau pernah cerita jika ibumu di kuburkan di Kyoto?”
Ku rasakan dia menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Kita
bisa kapan saja ke sana, sekarang yang terpenting kau sembuh dulu. And I want you to know there’s always fine
to alive. Getting stronger, stay alive.”
“Hei, sekarang siapa yang mengutip?” godaku. “Aku tidak tahu
kau juga menyukai lagu-lagu Bondan, sejak kapan?”
“Sejak aku mengetahui kekasihku sangat menyukai
lagu-lagunya. Aku mulai mencari semua yang bersangkutan dengan Bondan. Dan lagu
ini menjadi favoritku.”
Aku semakin erat memeluk Chiaki, aku tahu betul alasan di
balik kesukaannya pada lagu ini. Lirik lagu ini sarat akan perjuangan seseorang
untuk bertahan hidup, sepertiku.
“Chi-san, kau tahu kan kalau sakitku…”
“Ssstt… Aku tahu itu, tidak perlu kau jelaskan lagi. Karena…
jika kau… kau mengatakannya aku akan… hiks… aku akan…”
“Gomen, aku tak bermaksud membuatmu sedih. Aku hanya ingin
kau siap pada kemungkinan terburuk itu. Jangan menangis lagi, aku tak akan
membiarkan mata indah itu meneteskan buliran air mata untukku. Air mata itu
terlalu berharga. Aku akan sangat berterima kasih jika kau melepaskanku dengan
senyuman. Kau terlihat jauh lebih cantik saat tersenyum.” Jelasku lalu ku kecup
kening Chiaki setulus hati. Menenangkannya agar tak bersedih lagi.
Kau yang Esa, yang perkasa
Give me wisdom to survive
Satu hal yang dapat aku lakukan saat ini, berharap kemurahan
hati Tuhan untuk kami. Aku berharap Chiaki menemukan laki-laki lain sebelum aku
meninggalkan dunia ini. Hal itu membuatku sedikit tenang, karena akan ada
seseorang yang menopangnya saat terjatuh. Saat aku tak bisa memeluknya ketika
dia menangis, saat aku tak bisa membuatnya tertawa ketika dia sedang kesal.
“Chi-san, aku punya sesuatu untukmu,” ku keluarkan kotak
kecil berwarna biru muda dari sakuku. “Bukalah ini saat aku sudah tak ada di
sampingmu, dan aku mohon jangan lagi mengeluarkan air mata untukku. Mengerti?
Aku akan tenang jika kau mau mengantar kepergianku dengan senyumanmu.” Jelasku
lagi. Dia menerima kotak pemberianku, tangannya menyentuh telapak tanganku. Aku
mengeratkan genggaman jemariku, enggan melepaskan genggaman tangan kami.
Mataku semakin berat, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap
terjaga. Perlahan-lahan aku tundukkan kepalaku. Seolah memiliki ikatan batin,
Chiaki memejamkan matanya. Tangan kami masih saling menggenggam.
CUP. Ku tempelkan bibirku tepat di atas bibir Chiaki, hanya
menempel. Selang beberapa menit semua semakin gelap. Waktuku di sini telah
habis, pikirku.
Next month
To Chi-san, My Love
Chi-san, saat ini kau tidak sedang
menangisiku kan? Apa kau merindukanku? Aku sangat yakin kau pasti merindukan
kekasihmu yang tampan ini bukan?
Chi-san,
Gomen, aku tak bisa menepati janji
kita. Aku sudah berjanji akan menikahimu saat kita lulus kuliah, tapi
sepertinya takdir berkata lain. Aku rasa, bila saat itu tiba aku sudah tak di
sampingmu. Bukankah ini kejam?
Gomen karena aku selalu membuatmu
menangis. Aku merutuki kebodohan tersebut. Seharusnya aku tidak egois dan
mengikatmu seperti ini. Bagaimana mungkin aku memintamu menjadi kekasihku jika
akhirnya aku hanya menjadikanmu beban.
Chi-san,
Arigatou2 kau mau
menerima lelaki penyakitan ini menjadi kekasihmu. Kau adalah hadiah terindah
yang dikirimkan Tuhan untukku. Tahukah kau betapa bahagianya aku saat kau
mengatakan jika kau juga menyukaiku?Aku bahkan tak bisa tidur semalaman. Selama 12 tahun menghirup oksigen di dunia ini, baru pertama kali aku merasakan sensasi seeprti ini. Debaran jantung tak terkontrol, keringat dingin yang mengucur, dan perasaan gugup saat bersamamu. Kaulah cinta pertamaku.
Chi-san,
Aku ingat betul sebulan sebelum
bertemu denganmu, vonis dari dokter yang mengatakan aku tak akan bisa melewati
umur 20 tahun membuatku frustasi. Tetapi setelah bertemu denganmu, aku berharap
aku bisa hidup lebih lama. Agar aku bisa selalu melihatmu tersenyum. Kanker memang penyakit yang ganas dan kapan saja bisa mengambil nyawaku, tapi semenjak bersamamu, aku selalu berdoa agar diberi cukup waktu untuk membuatmu bahagia.
Chi-san,
Jangan terlalu lama bersedih,
cepatlah bangkit dan cari penggantiku. Jika terlalu sulit melupakanku, cukup
kenang aku dalam hatimu. Simpan aku di sudut hatimu paling dalam, namun sisi
yang lain isilah dengan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Seorang
laki-laki yang mampu menjagamu. Dan akan selalu membuatmu tersenyum saat kau
menangis karena mengingatku. Ah, atau kau akan melupakanku? Jika iya, aku tidak
apa-apa. Karena bagaimana pun aku hanyalah sekeping bagian dari masa lalumu,
dan dia adalah masa depanmu.
Chi-san,
Berjanjilah padaku kau akan selalu
berbahagia. Sesekali tengoklah kedua orangtuaku, anggaplah ibuku sebagai ibumu.
Beliau pasti akan sangat senang jika kau melakukan hal itu. Dan memiliki dua
Ayah bukankah menyenangkan? Hehehe~~
Chi-san, aishiteru3. I will always love you.
Your Love, Haru Keichiro
Glosarium
1. Maaf
2. Terima kasih
3. Aku mencintaimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar