“Klaten,
aku akan pulang.” Teriakku senang di dalam kamar kost.
Dua
hari lagi aku akan pulang ke kampung halaman. Sebuah kota kecil di antara
Yogyakarta dan Solo. Kota yang membesarkanku selama 20 tahun ini. Ah, aku
semakin tak sabar untuk segera menginjak tanah kelahiranku tersebut. Berkumpul
dengan kawan lama, bersenda gurau, dan bertukar cerita. Segera kurogoh saku
celananku, mengeluarkan ponsel hendak memberi kabar kedua orangtuaku.
Bapak, Ibu, kemungkinan tanggal 31
aku akan berangkat dari sini. Doakan semoga perjalananku lancar.
“Em,
sebaiknya aku memberi kabar pada teman-temanku juga.” Lalu aku segera mengetik
pesan singkat yang aku tujukan ke beberapa teman-temanku di Klaten.
***
Keesokan
paginya, aku segera menuju stasiun Pasar Senen. Namun sampai di sana hanya
kekecewaan yang aku dapat. Tiket untuk tanggal 31 sudah habus terjual. Baik
tujuan Yogyakarta, Semarang, Solo maupun Klaten. Bahkan tujuan Surabaya ataupun
Jawa timur juga sudah habus terjual.
“Lalu
kamu mau gimana Gus? Apa kita coba ke terminal? Mungkin ada bus yang berangkat
besok?” kata Andi, temanku satu kost. Andi asli Jakarta, jadi dia tidak perlu
pusing memikirkan bagaimana pulang kampung.
Akhirnya
aku menyetujui ajakan Andi. Setidaknya aku harus mencoba. Dalam hati aku terus
berharap, semoga masih ada bus yang akan menuju Yogyakarta. Membawaku lebih
dekat, pulang ke kampung halaman.
Sampai
di Terminal Pulogadung, aku dan Andi segera mendatangi beberapa kios agen
penjualan tiket bus. Hampir setengah jam berkeliling, akhirnya aku mendapatkan
satu tiket. Bukan untuk besok, tapi malam ini. Yah, sama halnya dengan tiket
kereta yang sudah terjual habus. Tiket bus tertanggal 31 Desember yang menuju
Yogyakarta ludes terjual. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, segera aku ambil
tiket yang tersisa.
“Terima
kasih Ndi. Setidaknya aku bisa pulang. Toh besok sudah libur, meskipun dadakan.
Tak apalah.”
“Kau
yakin Gus? Kamu belum packing,
sekarang sudah jam 2. Jam keberangkatan tinggal 5 jam lagi.”
Aku
tersenyum mendengar penuturan Andi. “Cukup kok. Aku tidak membawa banyak
barang, 5 jam cukup untuk mempersiapkan semua. Ayo pulang.” Kataku kalem.
Sesampainya
di kost, aku segera mengepak barang-barang yang akan aku bawa pulang. Untung
kemarin saja aku sudah menyempatkan diri membeli oleh-oleh. Sepantasnya membawa
sedikit buah tangan untuk orang-orang terkasih, bukan?
Setelah
menghabuskan waktu 2 jam, semua barang yang akan kubawa pulang sudah terjejer
rapi di tepi kamar. Kulirik jam yang bertengger di pergelangan tangan kiriku,
sudah lewat pukul 4. Astaga, aku belum sholat Asar. Aku segera berlari menuju kamar mandi,
mengambil air wudhu.
“Segarnya,”
ucapku penuh syukur.
Pak, Bu. Tiket kereta menuju
Yogyakarta habis. Aku pulang malam ini, naik bus. Doakan anakmu agar selamat
sampai di rumah.
Selesai
menunaikan kewajibanku, aku beristirahat sejenak. Masih ada 2 jam lebih sebelum
waktu keberangkatan. Andi juga sudah kupesan untuk mengantar ke terminal.
“Busmillah,
semoga perjalananku lancar.” Doaku dalam hati. Mengiringi langkah kakiku masuk
ke dalam bus.
“Aku
pergi, Ndi. Sampai jumpa tahun depan, hehehe.” Gurauku.
“Hati-hati
dijalan Gus. Aku tunggu oleh-oleh dari Klaten. Cewek cantik juga boleh.”
“Kau
kan sudah mempunyai Nisa. Masih kurang?” godaku tak mau kalah. “Kalau pun ada
cewek cantik, lebih baik buat aku yang masih jomblo.”
“Hahaha,
aku kira kau ingin menjadi perjaka tua Gus.” Ledeknya lagi.
Aku
tak menanggapi ejekan Andi, aku hanya terkekeh pelan lalu berlalu dari
hadapannya. Meninggalkan Andi yang masih setia berdiri di sebelah bus
tumpanganku. Aku mengamati tiket dalam genggamanku, mencari nomor tempat duduk.
Saat melewati bangku keempat dari depan, mataku menangkap sesosok bidadari yang
nyasar di bumi ini. Mungkin terlalu
berlebihan, tapi begitulah kesan pertama dari gadis ayu berkerudung biru
tersebut. Cantik.
Aku
nyaris berteriak ketika mengetahui bangkuku tak jauh dari gadis tersebut. Di
seberang gadis itu duduk, satu baris di belakangnya. Senyum simpul tercipta
dengan sendirinya dari bibir tipisku. Perjalanan kali ini tak akan terlalu
membosankan, pikirku.
Selama
perjalanan aku sesekali mencuri pandang pada gadis manis itu. Aku benar-benar
telah terpukau oleh pesonanya. Rasa penasaranku sangat tinggi, ingin
mengajaknya berkenalan tapi situasinya sungguh tidak mendukung. Alih-alih
menanggapi, bisa-bisa aku dikira penjahat seperti yang terjadi di film-film.
Ah, aku terlalu banyak menonton film rupanya.
Setelah
8 jam perjalanan, aku baru memasuki wilayah Jawa Tengah. Menjelang pergantian
tahun selalu macet dimana-mana. Memasuki wilayah Cirebon, bus berhenti di rumah
makan. Memberi kesempatan pada seluruh penumpang untuk mengisi perut yang
kosong semalaman. Tak heran jika masih sepi, baru pukul 5 pagi.
Setelah
mengambil makan, tanpa sengaja aku melihat gadis itu lagi. Dia duduk bersama
beberapa penumpang wanita lainnya. Kebetulan ada dua bangku kosong yang
terletak di sebelah meja gadis itu berada. Kesempatan bagus, semoga aku bisa
mengetahui nama gadis itu.
“Bangku
ini dipakai tidak, Mas?” sebuah suara menyapaku. AKu mendongak untuk melihat
sang pemilik suara tersebut. Seorang lelaki berperawakan tinggi berdiri di
sebelahku.
“Tidak
Mas. Silahkan kalau mau duduk.” Kataku menawarkan.
“Terima
kasih Mas.” Jawab lelaki tersebut.
Selama
beberapa menit aku makan dalam diam. Sesekali melirik ke arah kiri, mencuri
pandang gadis pujaan hatiku.
“Mas
turun mana?”
Aku
menoleh ke samping kanan, memastikan bahwa pertanyaan itu memang untukku. Setelah
melihat raut penasaran dari lelaki tadi, aku yakin jika memang akulah yang
ditanya.
“Yogya
Mas.” Kataku singkat.
“Yogya?
Berarti kita sama. Aku juga turun di Yogya. Mas orang Yogya?”
“Bukan.
Saya mau ke Klaten. Nanti dari Yogya ambil bus ke Solo.”
“Owh,
Klaten. Aku punya banyak teman di sana.”
Angga,
nama lelaki di hadapanku ini, ternyata orang yang ramah. Setelah berkenalan dan
berbincang-bincang, aku mengetahui bahwa dia juga bekerja di Jakarta Pusat.
Bahkan pabrik tempatnya bekerja dekat dengan tempat kerjaku. Setelah empat
puluh menit, bus melanjutkan perjalanan. AKu harus berpisah dengan Angga.
Karena tempat duduk Angga berada di bangku belakang.
Kurang
lebih masih ada 5 jam lagi untuk sampai di Yogya. Itupun kalau lancar, tidak
ada kemacetan. Aku baru tertidur 2 jam, setelah kenyang kini rasa kantuk
menyergapku.
Entah
sudah berapa lama aku tertidur, saat aku terbangun Kutoarjo sudah terlewati.
Aku segera mempersiapkan barang-barangku, karena aku akan turun di Terminal
Giwangan. Sesekali kulirik bangku di depanku, gadis itu nampak bersiap-siap.
Apa dia juga turun di Terminal Giwangan?
Rupanya
dugaanku benar, gadis berjilbab biru itu juga turun di Terminal Giwangan. Tangan
kanannya menggeret sebuah koper berukuran sedang, sedangkan tangan kirinya
menenteng tas tangan yang cukup besar. Dia terlihat sangat kepayahan. Entah
dorongan dari mana, aku mendekati gadis itu bermaksud menawarkan bantuan.
“Butuh
bantuan, Mbak?” tawarku.
Gadis
itu terlonjak kaget. Lalu menatap bingung padaku. “Koper itu sepertinya berat,
mau kubantu?” tanyaku sekali lagi. “Tenang Mbak, aku tidak bermaksud jahat.
Kita tadi satu bus dari Jakarta.” Jelasku karena tak melihat respon darinya.
“Em…
maaf… aku tidak bermaksud begitu Mas…”
“Bagus,
itu namaku. Kau mau kemana, biar aku bawakan kopermu Mbak…”
“Indah.
Senang berkenalan dengan Mas Bagus. Em, aku sedang mencari bus menuju Solo.”
“Panggil
saja Bagus, biar lebih akrab.” Usulku. Lalu segera aku menarik koper Indah,
mencari bus tujuan Solo.
Indah
hanya mengangguk menanggapi usulanku. “Apa aku tidak merepotkanmu?”
“Tidak,
kebetulan aku juga sedang mencari bus tujuan Solo,” jelasku. “Kau ingin naik
ekonomi atau patas?”
“Kalau
ada sebaiknya patas, cuaca siang ini cukup panas.”
Kali
ini aku mengangguk, membenarkan perkataannya. Kami berjalan beriringan, setelah
10 menit bertanya kesana kemari – kebetulan ini pertama kalinya aku pulang
kampung naik bus – kami menemukan bus yang menuju ke Solo.
“Tidak
apa-apa jika naik ekonomi kan? Semua bus patas sudah penuh.” Ujarku pada Indah.
“Tidak
masalah kok. Mau minum?” Indah menyodorkan sekaleng minuman dingin. Aku tidak
tahu kapan dia membeli minuman tersebut, mungkin saat aku sedang menemui agen
tadi.
“Terima
kasih.”
Setelah
menunggu setengah jam, bus segera meninggalkan Terminal Giwangan. Perjalanan menuju
Solo kali ini terasa lebih menyenangkan. Aku duduk bersebelahan dengan Indah.
Maksudku, Indah duduk di bangku seberangku. Karena bangku yang tersisa tinggal
satu sisi disetiap seat.
Kami
mengobrol banyak selama perjalanan. Dari perbincangan tersebut, aku mengetahui
bahwa Indah mahasiswa dari UNJ, semester 7 jurusan akutansi.
“Jadi
Bagus turun Klaten?”
“Hem,”
aku mengangguk mendengar pertanyaan Indah. “Aku turun Besole.”
“Kapan
pulang ke Jakarta?”
“Mungkin
hari Minggu aku sudah berangkat, hari Senin aku sudah mulai masuk kerja. Shift malam.” Jelasku. “Indah kapan balik?”
“Akhir
Januari. Kebetulan ini sudah memasuki liburan semester. Jadi liburku panjang.”
CIITTTT
Tiba-tiba
bus mengerem secara mendadak. Semua penumpang dibuat bingung dengan keadaan
ini. Sang kondektur yang mengerti kebingungan penumpang, segera menjelaskan
keadaan yang terjadi. Rupanya bus mengalami sedikit kerusakan mesin. Semua
penumpang turun, menunggu dipinggir trotoar.
Hampir
setengah jam lamanya kami menunggu, perbaikan tak kunjung selesai. Akhirnya
kondektur bus memindahkan kita ke bus lain. Sialnya, nasib tidak berpihak
padaku. Kali ini tempat dudukku cukup jauh dari tempat duduk Indah.
Sepanjang
perjalanan, aku masih sering curi pandang ke arah Indah. Kadang aku juga
memergoki Indah tengah menatap ke arahku. Saat tanpa sengaja kami saling
menatap, Indah selalu memalingkan wajah pertama kali. Malu mungkin, dan aku
hanya bisa tersenyum kikuk. Menggaruk belakang leherku meskipun tak gatal.
“Seharusnya
tadi aku meminta nomor HP-nya.” Rutukku pelan menyadari kebodohan yang aku
lakukan.
Sampai
aku turun, aku tak lagi berbincang dengan Indah. Aku sempat menoleh ke arahnya,
ternyata dia pun melakukan hal yang sama. “Hati-hati, sampai berjumpa lagi.” Begitulah
yang aku tangkap dari pergerakan bibirnya.
“Sampai
jumpa lagi Indah.” Kataku lirih, nyaris tak terdengar.
***
Kini
aku telah kembali ke Jakarta. Kenangan sehari yang aku lalui minggu lalu masih
membekas jelas di ingatanku. Kenangan tentang Indah. Aku tak tahu apakah bisa
bertemu lagi dengannya. Bukan sebuah dosa bukan jika aku berdoa, meminta pada
Yang Kuasa untuk mempertemukan kami kembali?
Dua
minggu aku lewati seperti hari-hari kemarin. Tidak ada yang special. Aku
sengaja menyibukkan diri, agar sedikit lupa dengan sosok Indah. Menghilangkan
kegalauan yang mendera. Aku rasa, aku merindukannya. Sungguh konyol bukan?
“Bagus,
kau di dalam?” teriak seseorang dari luar kamarku.
Sedikit
berlari aku menggapai pintu kamar. Kulihat Sandy berdiri di depan pintu.
“Ada
apa San?” tanyaku penasaran.
“Besok
kau sibuk? Aku butuh bantuanmu.”
“Em,
aku masuk malam. Memangnya apa yang bisa aku bantu?
“Antar
aku ke stasiun Pasar Senen, aku harus pulang. Ayahku sakit.” Jelasnya. Terlihat
raut khawatir terpatri jelas di wajahnya. “Jam sepuluh pagi, kau bisa?”
“Baiklah,
aku akan mengantarmu. Jangan khawatir.” Aku menepuk bahunya pelan. Memberikan
semangat pada Sandy, berharap dia sedikit mendapat kelegaan.
Besoknya
aku menepati janjiku pada Sandy. Aku mengantarnya ke stasiun. Tepat pukul
sebelas, kereta yang membawa Sandy ke Bandung berangkat. Di saat yang bersamaan
ada sebuah kereta yang tiba.
Aku
sudah berbalik hendak pulang saat sebuah suara memanggilku. “Bagus?”
Aku
menengok ke belakang, mataku menangkap seorang gadis cantik memakai kerudung
hijau tosca tersenyum. Gadis itu, Indah.
***
“Tahun
baru kali ini, apa rencanamu?” tanyaku pada gadis cantik di sebelahku.
Setelah
pertemuan kedua kami – yang secara tidak sengaja di stasiun tahun lalu – aku
mendapatkan nomor HP Indah. Kami sering berputar pesan singkat. Dan sejak dua
bulan lalu, kami resmi berpacaran.
“Em, belum ada rencana. Ada
ide?”
“Mau ikut ke Yogya?
Adikku Amy ulang tahun.”
Indah Nampak berpikir
sejenak. Keningnya berkerut, lalu sedetik kemudian wajahnya terlihat bingung.
“Kenapa? Tak mau?”
tanyaku tak kalah bingung. Ada sedikit rasa kecewa yang menghinggapi.
“Kau yakin? Apa tidak
apa-apa?”
“Tenanglah. Aku ingin
mengenalkanmu pada mereka. Mereka sudah banyak mendengar tentangmu. Aku sering
bercerita pada mereka.”
***
“Ini gadis yang kamu
ceritakan itu, Nak?” Tanya Ibu.
“Iya, Bu. Kenalkan, ini Indah.
Indah, kenalkan ini keluargaku. Ibu, Bapak dan adik perempuanku.”
“Assalamu’alaikum, Bu.”
Ucap Indah sopan.
“Wa’alaikum salam.”
Serempak keluargaku menjawab salam dari Indah.
“Wah, pacar kak Bagus
cantik.” Celetuk si kecil Amy.
“Ternyata anak Bapak
sudah dewasa.” Aku hanya bisa tersenyum kaku menanggapi gurauan keluargaku.
Hari ini merupakan salah
satu moment berharga dalam hidupku. Ulang tahun si kecil Amy. Dan aku
rasa saat ini waktu yang tepat untuk mengenalkan dia. Gadis yang berhasil
mencuri hatiku pada pandangan pertama. Love at the first sight, kata pepatah.
“Indah sudah lulus
kuliahnya?”
“Sudah, Bu. Bulan lalu
sudah wisuda..”
“Alhamdulillah kalau
sudah. Sudah dapat pekerjaan?”
“Sementara kontrak di
Bank, Pak. Sambil menunggu pendaftaran CPNS.”
“Sudahlah, Pak, Bu.
Jangan mengintrogasi Indah seperti itu. Lihatlah, mukanya sudah memerah karena
malu.”
Semua tertawa mendengar
ucapanku. Aku bahagia karena telah menemukan tulang rusukku. Semoga memang
pertemuan 2 tahun yang lalu pertanda bahwa kami ditakdirkan untuk bersama.
Aku mencuri pandang ke
arah Indah, gadis cantik berhijab di sebelahku. Tanpa aku duga, dia juga sedang
menatapku. Bola mata kami bertemu. Meskipun sudah dua tahun bersama, tapi
desiran halus itu masih saja terasa. Seolah memiliki ikatan batin, kami secara
bersamaan mengalihkan pandangan dan tersipu malu. Ini baru permulaan, kisah
sesungguhnya baru akan kami mulai.
#TantanganKampusFiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar