Selasa, 31 Desember 2013

[Cerpen] Dari Bus hingga Stasiun



“Klaten, aku akan pulang.” Teriakku senang di dalam kamar kost.
Dua hari lagi aku akan pulang ke kampung halaman. Sebuah kota kecil di antara Yogyakarta dan Solo. Kota yang membesarkanku selama 20 tahun ini. Ah, aku semakin tak sabar untuk segera menginjak tanah kelahiranku tersebut. Berkumpul dengan kawan lama, bersenda gurau, dan bertukar cerita. Segera kurogoh saku celananku, mengeluarkan ponsel hendak memberi kabar kedua orangtuaku.
Bapak, Ibu, kemungkinan tanggal 31 aku akan berangkat dari sini. Doakan semoga perjalananku lancar.
“Em, sebaiknya aku memberi kabar pada teman-temanku juga.” Lalu aku segera mengetik pesan singkat yang aku tujukan ke beberapa teman-temanku di Klaten.
***
Keesokan paginya, aku segera menuju stasiun Pasar Senen. Namun sampai di sana hanya kekecewaan yang aku dapat. Tiket untuk tanggal 31 sudah habus terjual. Baik tujuan Yogyakarta, Semarang, Solo maupun Klaten. Bahkan tujuan Surabaya ataupun Jawa timur juga sudah habus terjual.
“Lalu kamu mau gimana Gus? Apa kita coba ke terminal? Mungkin ada bus yang berangkat besok?” kata Andi, temanku satu kost. Andi asli Jakarta, jadi dia tidak perlu pusing memikirkan bagaimana pulang kampung.
Akhirnya aku menyetujui ajakan Andi. Setidaknya aku harus mencoba. Dalam hati aku terus berharap, semoga masih ada bus yang akan menuju Yogyakarta. Membawaku lebih dekat, pulang ke kampung halaman.
Sampai di Terminal Pulogadung, aku dan Andi segera mendatangi beberapa kios agen penjualan tiket bus. Hampir setengah jam berkeliling, akhirnya aku mendapatkan satu tiket. Bukan untuk besok, tapi malam ini. Yah, sama halnya dengan tiket kereta yang sudah terjual habus. Tiket bus tertanggal 31 Desember yang menuju Yogyakarta ludes terjual. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, segera aku ambil tiket yang tersisa.
“Terima kasih Ndi. Setidaknya aku bisa pulang. Toh besok sudah libur, meskipun dadakan. Tak apalah.”
“Kau yakin Gus? Kamu belum packing, sekarang sudah jam 2. Jam keberangkatan tinggal 5 jam lagi.”
Aku tersenyum mendengar penuturan Andi. “Cukup kok. Aku tidak membawa banyak barang, 5 jam cukup untuk mempersiapkan semua. Ayo pulang.” Kataku kalem.

Sesampainya di kost, aku segera mengepak barang-barang yang akan aku bawa pulang. Untung kemarin saja aku sudah menyempatkan diri membeli oleh-oleh. Sepantasnya membawa sedikit buah tangan untuk orang-orang terkasih, bukan?
Setelah menghabuskan waktu 2 jam, semua barang yang akan kubawa pulang sudah terjejer rapi di tepi kamar. Kulirik jam yang bertengger di pergelangan tangan kiriku, sudah lewat pukul 4. Astaga, aku belum sholat Asar.  Aku segera berlari menuju kamar mandi, mengambil air wudhu.
“Segarnya,” ucapku penuh syukur.
Pak, Bu. Tiket kereta menuju Yogyakarta habis. Aku pulang malam ini, naik bus. Doakan anakmu agar selamat sampai di rumah.
Selesai menunaikan kewajibanku, aku beristirahat sejenak. Masih ada 2 jam lebih sebelum waktu keberangkatan. Andi juga sudah kupesan untuk mengantar ke terminal.
“Busmillah, semoga perjalananku lancar.” Doaku dalam hati. Mengiringi langkah kakiku masuk ke dalam bus.
“Aku pergi, Ndi. Sampai jumpa tahun depan, hehehe.” Gurauku.
“Hati-hati dijalan Gus. Aku tunggu oleh-oleh dari Klaten. Cewek cantik juga boleh.”
“Kau kan sudah mempunyai Nisa. Masih kurang?” godaku tak mau kalah. “Kalau pun ada cewek cantik, lebih baik buat aku yang masih jomblo.”
“Hahaha, aku kira kau ingin menjadi perjaka tua Gus.” Ledeknya lagi.
Aku tak menanggapi ejekan Andi, aku hanya terkekeh pelan lalu berlalu dari hadapannya. Meninggalkan Andi yang masih setia berdiri di sebelah bus tumpanganku. Aku mengamati tiket dalam genggamanku, mencari nomor tempat duduk. Saat melewati bangku keempat dari depan, mataku menangkap sesosok bidadari yang nyasar di bumi ini. Mungkin terlalu berlebihan, tapi begitulah kesan pertama dari gadis ayu berkerudung biru tersebut. Cantik.
Aku nyaris berteriak ketika mengetahui bangkuku tak jauh dari gadis tersebut. Di seberang gadis itu duduk, satu baris di belakangnya. Senyum simpul tercipta dengan sendirinya dari bibir tipisku. Perjalanan kali ini tak akan terlalu membosankan, pikirku.
Selama perjalanan aku sesekali mencuri pandang pada gadis manis itu. Aku benar-benar telah terpukau oleh pesonanya. Rasa penasaranku sangat tinggi, ingin mengajaknya berkenalan tapi situasinya sungguh tidak mendukung. Alih-alih menanggapi, bisa-bisa aku dikira penjahat seperti yang terjadi di film-film. Ah, aku terlalu banyak menonton film rupanya.
Setelah 8 jam perjalanan, aku baru memasuki wilayah Jawa Tengah. Menjelang pergantian tahun selalu macet dimana-mana. Memasuki wilayah Cirebon, bus berhenti di rumah makan. Memberi kesempatan pada seluruh penumpang untuk mengisi perut yang kosong semalaman. Tak heran jika masih sepi, baru pukul 5 pagi.
Setelah mengambil makan, tanpa sengaja aku melihat gadis itu lagi. Dia duduk bersama beberapa penumpang wanita lainnya. Kebetulan ada dua bangku kosong yang terletak di sebelah meja gadis itu berada. Kesempatan bagus, semoga aku bisa mengetahui nama gadis itu.
“Bangku ini dipakai tidak, Mas?” sebuah suara menyapaku. AKu mendongak untuk melihat sang pemilik suara tersebut. Seorang lelaki berperawakan tinggi berdiri di sebelahku.
“Tidak Mas. Silahkan kalau mau duduk.” Kataku menawarkan.
“Terima kasih Mas.” Jawab lelaki tersebut.
Selama beberapa menit aku makan dalam diam. Sesekali melirik ke arah kiri, mencuri pandang gadis pujaan hatiku.
“Mas turun mana?”
Aku menoleh ke samping kanan, memastikan bahwa pertanyaan itu memang untukku. Setelah melihat raut penasaran dari lelaki tadi, aku yakin jika memang akulah yang ditanya.
“Yogya Mas.” Kataku singkat.
“Yogya? Berarti kita sama. Aku juga turun di Yogya. Mas orang Yogya?”
“Bukan. Saya mau ke Klaten. Nanti dari Yogya ambil bus ke Solo.”
“Owh, Klaten. Aku punya banyak teman di sana.”
Angga, nama lelaki di hadapanku ini, ternyata orang yang ramah. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang, aku mengetahui bahwa dia juga bekerja di Jakarta Pusat. Bahkan pabrik tempatnya bekerja dekat dengan tempat kerjaku. Setelah empat puluh menit, bus melanjutkan perjalanan. AKu harus berpisah dengan Angga. Karena tempat duduk Angga berada di bangku belakang.
Kurang lebih masih ada 5 jam lagi untuk sampai di Yogya. Itupun kalau lancar, tidak ada kemacetan. Aku baru tertidur 2 jam, setelah kenyang kini rasa kantuk menyergapku.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, saat aku terbangun Kutoarjo sudah terlewati. Aku segera mempersiapkan barang-barangku, karena aku akan turun di Terminal Giwangan. Sesekali kulirik bangku di depanku, gadis itu nampak bersiap-siap. Apa dia juga turun di Terminal Giwangan?
Rupanya dugaanku benar, gadis berjilbab biru itu juga turun di Terminal Giwangan. Tangan kanannya menggeret sebuah koper berukuran sedang, sedangkan tangan kirinya menenteng tas tangan yang cukup besar. Dia terlihat sangat kepayahan. Entah dorongan dari mana, aku mendekati gadis itu bermaksud menawarkan bantuan.
“Butuh bantuan, Mbak?” tawarku.
Gadis itu terlonjak kaget. Lalu menatap bingung padaku. “Koper itu sepertinya berat, mau kubantu?” tanyaku sekali lagi. “Tenang Mbak, aku tidak bermaksud jahat. Kita tadi satu bus dari Jakarta.” Jelasku karena tak melihat respon darinya.
“Em… maaf… aku tidak bermaksud begitu Mas…”
“Bagus, itu namaku. Kau mau kemana, biar aku bawakan kopermu Mbak…”
“Indah. Senang berkenalan dengan Mas Bagus. Em, aku sedang mencari bus menuju Solo.”
“Panggil saja Bagus, biar lebih akrab.” Usulku. Lalu segera aku menarik koper Indah, mencari bus tujuan Solo.
Indah hanya mengangguk menanggapi usulanku. “Apa aku tidak merepotkanmu?”
“Tidak, kebetulan aku juga sedang mencari bus tujuan Solo,” jelasku. “Kau ingin naik ekonomi atau patas?”
“Kalau ada sebaiknya patas, cuaca siang ini cukup panas.”
Kali ini aku mengangguk, membenarkan perkataannya. Kami berjalan beriringan, setelah 10 menit bertanya kesana kemari – kebetulan ini pertama kalinya aku pulang kampung naik bus – kami menemukan bus yang menuju ke Solo.
“Tidak apa-apa jika naik ekonomi kan? Semua bus patas sudah penuh.” Ujarku pada Indah.
“Tidak masalah kok. Mau minum?” Indah menyodorkan sekaleng minuman dingin. Aku tidak tahu kapan dia membeli minuman tersebut, mungkin saat aku sedang menemui agen tadi.
“Terima kasih.”
Setelah menunggu setengah jam, bus segera meninggalkan Terminal Giwangan. Perjalanan menuju Solo kali ini terasa lebih menyenangkan. Aku duduk bersebelahan dengan Indah. Maksudku, Indah duduk di bangku seberangku. Karena bangku yang tersisa tinggal satu sisi disetiap seat.
Kami mengobrol banyak selama perjalanan. Dari perbincangan tersebut, aku mengetahui bahwa Indah mahasiswa dari UNJ, semester 7 jurusan akutansi.
“Jadi Bagus turun Klaten?”
“Hem,” aku mengangguk mendengar pertanyaan Indah. “Aku turun Besole.”
“Kapan pulang ke Jakarta?”
“Mungkin hari Minggu aku sudah berangkat, hari Senin aku sudah mulai masuk kerja. Shift malam.” Jelasku. “Indah kapan balik?”
“Akhir Januari. Kebetulan ini sudah memasuki liburan semester. Jadi liburku panjang.”
CIITTTT
Tiba-tiba bus mengerem secara mendadak. Semua penumpang dibuat bingung dengan keadaan ini. Sang kondektur yang mengerti kebingungan penumpang, segera menjelaskan keadaan yang terjadi. Rupanya bus mengalami sedikit kerusakan mesin. Semua penumpang turun, menunggu dipinggir trotoar.
Hampir setengah jam lamanya kami menunggu, perbaikan tak kunjung selesai. Akhirnya kondektur bus memindahkan kita ke bus lain. Sialnya, nasib tidak berpihak padaku. Kali ini tempat dudukku cukup jauh dari tempat duduk Indah.
Sepanjang perjalanan, aku masih sering curi pandang ke arah Indah. Kadang aku juga memergoki Indah tengah menatap ke arahku. Saat tanpa sengaja kami saling menatap, Indah selalu memalingkan wajah pertama kali. Malu mungkin, dan aku hanya bisa tersenyum kikuk. Menggaruk belakang leherku meskipun tak gatal.
“Seharusnya tadi aku meminta nomor HP-nya.” Rutukku pelan menyadari kebodohan yang aku lakukan.
Sampai aku turun, aku tak lagi berbincang dengan Indah. Aku sempat menoleh ke arahnya, ternyata dia pun melakukan hal yang sama. “Hati-hati, sampai berjumpa lagi.” Begitulah yang aku tangkap dari pergerakan bibirnya.
“Sampai jumpa lagi Indah.” Kataku lirih, nyaris tak terdengar.
***
Kini aku telah kembali ke Jakarta. Kenangan sehari yang aku lalui minggu lalu masih membekas jelas di ingatanku. Kenangan tentang Indah. Aku tak tahu apakah bisa bertemu lagi dengannya. Bukan sebuah dosa bukan jika aku berdoa, meminta pada Yang Kuasa untuk mempertemukan kami kembali?
Dua minggu aku lewati seperti hari-hari kemarin. Tidak ada yang special. Aku sengaja menyibukkan diri, agar sedikit lupa dengan sosok Indah. Menghilangkan kegalauan yang mendera. Aku rasa, aku merindukannya. Sungguh konyol bukan?
“Bagus, kau di dalam?” teriak seseorang dari luar kamarku.
Sedikit berlari aku menggapai pintu kamar. Kulihat Sandy berdiri di depan pintu.
“Ada apa San?” tanyaku penasaran.
“Besok kau sibuk? Aku butuh bantuanmu.”
“Em, aku masuk malam. Memangnya apa yang bisa aku bantu?
“Antar aku ke stasiun Pasar Senen, aku harus pulang. Ayahku sakit.” Jelasnya. Terlihat raut khawatir terpatri jelas di wajahnya. “Jam sepuluh pagi, kau bisa?”
“Baiklah, aku akan mengantarmu. Jangan khawatir.” Aku menepuk bahunya pelan. Memberikan semangat pada Sandy, berharap dia sedikit mendapat kelegaan.
Besoknya aku menepati janjiku pada Sandy. Aku mengantarnya ke stasiun. Tepat pukul sebelas, kereta yang membawa Sandy ke Bandung berangkat. Di saat yang bersamaan ada sebuah kereta yang tiba.
Aku sudah berbalik hendak pulang saat sebuah suara memanggilku. “Bagus?”
Aku menengok ke belakang, mataku menangkap seorang gadis cantik memakai kerudung hijau tosca tersenyum. Gadis itu, Indah.
***
“Tahun baru kali ini, apa rencanamu?” tanyaku pada gadis cantik di sebelahku.
Setelah pertemuan kedua kami – yang secara tidak sengaja di stasiun tahun lalu – aku mendapatkan nomor HP Indah. Kami sering berputar pesan singkat. Dan sejak dua bulan lalu, kami resmi berpacaran.
“Em, belum ada rencana. Ada ide?”
“Mau ikut ke Yogya? Adikku Amy ulang tahun.”
Indah Nampak berpikir sejenak. Keningnya berkerut, lalu sedetik kemudian wajahnya terlihat bingung.
“Kenapa? Tak mau?” tanyaku tak kalah bingung. Ada sedikit rasa kecewa yang menghinggapi.
“Kau yakin? Apa tidak apa-apa?”
“Tenanglah. Aku ingin mengenalkanmu pada mereka. Mereka sudah banyak mendengar tentangmu. Aku sering bercerita pada mereka.”
***
“Ini gadis yang kamu ceritakan itu, Nak?” Tanya Ibu.
Iya, Bu. Kenalkan, ini Indah. Indah, kenalkan ini keluargaku. Ibu, Bapak dan adik perempuanku.”
Assalamu’alaikum, Bu.” Ucap Indah sopan.
Wa’alaikum salam.” Serempak keluargaku menjawab salam dari Indah.
“Wah, pacar kak Bagus cantik.” Celetuk si kecil Amy.
Ternyata anak Bapak sudah dewasa.” Aku hanya bisa tersenyum kaku menanggapi gurauan keluargaku.
Hari ini merupakan salah satu moment berharga dalam hidupku. Ulang tahun si kecil Amy. Dan aku rasa saat ini waktu yang tepat untuk mengenalkan dia. Gadis yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Love at the first sight, kata pepatah.
“Indah sudah lulus kuliahnya?”
“Sudah, Bu. Bulan lalu sudah wisuda..”
“Alhamdulillah kalau sudah. Sudah dapat pekerjaan?”
“Sementara kontrak di Bank, Pak. Sambil menunggu pendaftaran CPNS.”
“Sudahlah, Pak, Bu. Jangan mengintrogasi Indah seperti itu. Lihatlah, mukanya sudah memerah karena malu.”
Semua tertawa mendengar ucapanku. Aku bahagia karena telah menemukan tulang rusukku. Semoga memang pertemuan 2 tahun yang lalu pertanda bahwa kami ditakdirkan untuk bersama.
Aku mencuri pandang ke arah Indah, gadis cantik berhijab di sebelahku. Tanpa aku duga, dia juga sedang menatapku. Bola mata kami bertemu. Meskipun sudah dua tahun bersama, tapi desiran halus itu masih saja terasa. Seolah memiliki ikatan batin, kami secara bersamaan mengalihkan pandangan dan tersipu malu. Ini baru permulaan, kisah sesungguhnya baru akan kami mulai.



#TantanganKampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar