Part 1 : Undeclared Love
Seiring mencairnya
salju sisa musim dingin, kebekuan di hatiku perlahan ikut meleleh. Tumbuh tunas
baru yang akan memberi warna secerah taman bunga di musim semi ini.
“Selamat datang di Lucky Florist.” Sapa namja bermata bulat tersebut saat mendengar derit pintu terbuka.
Merasa aneh karena tak mendengar suara pengunjung, dia segera melihat ke arah pintu
masuk.
“Yun-ah, ternyata
kau. Aku kira pembeli.”
“Aku memang akan membeli bunga, Teo-ya.”
“Bunga? Untuk siapa?” Namja
yang bernama Teo tadi langsung menghampiri Yun, sahabatnya.
Mereka telah berteman selama tiga tahun lebih. Teo tahu betul
jika Yun tidak menyukai bunga. Namun sekarang Yun membeli bunga, apakah dia
sedang jatuh cinta? Itulah yang terpikirkan oleh Teo.
Sedangkan namja bermarga Han tersebut memasang wajah datarnya
sebagai jawaban atas kebingungan Teo. Teo mendengus sebal mendapati perlakuan
sahabatnya tersebut. Dia memutuskan untuk menuju meja kasir, menyiapkan
peralatan yang diperlukan untuk menyusun sebuah buket bunga. Percuma dia
memaksa Yun untuk menjawab pertanyaannya, itu akan membuang tenaga. Jika sudah
menampilkan wajah datarnya, artinya Yun belum mau bercerita.
“Sebuket tulip kuning Teo-ya,
14 tangkai ne.”
Teo mengangguk, lalu segera merangkai pesanan sahabatnya
tersebut. Sembari menunggu Teo, Yun berkeliling mengamati macam-macam bunga
yang terpajang rapi di toko tersebut.
“Teo-ya, kenapa kau
betah bekerja di sini? Toko ini terlihat sepi pengunjung, tempatnya juga tidak
ramai dilalui orang.”
“Em… Justru karena itu Yun-ah. Aku sudah bosan dengan keramaian, anggap saja saat ini aku
sedang bersembunyi.”
Yun tertawa mendengar jawaban yang dilontarkan sahabatnya.
Tawa miris. Yah, saat ini pun dia sedang bersembunyi. Menyembunyikan
perasaannya dari Min Hwa. Sudah dua bulan lebih dia selalu menghindar saat
bertemu Min Hwa. Entah di tempat latihan, kampus Teo ataupun saat di Ichigo Café.
“Teo-ya, aku ada
urusan di luar. Kalau kau mau pu… Ah, anyeong
haseyo.” Sapa seorang yeoja yang
baru saja turun dari lantai dua toko ini.
“Yak! Kenapa tak bilang kalau ada pembeli, Teo-ya?” Pekik yeoja tadi.
“Dia sahabatku, Sung
Rin-ah. Yun-ah ini Sung Rin, Sung Rin dia Yun.” Yun menunduk memberi salam, yeoja tadi pun melakukan hal yang sama.
“Kau mau pergi?” Tanya Teo mengembalikan kesadaran Sung Rin.
“Ne? Ah, iya. Aku
ada janji dengan Min Rin eonnie,
nanti kuncinya kau bawa saja dulu. Sepertinya aku akan menginap di tempat Min
Rin eonnie.”
“Baiklah. Hati-hati di jalan, salju belum sepenuhnya mencair.
Kau bisa tergelincir jika tidak memperhatikan langkahmu.”
“Arraseo Teo-ya, gomawo.
Anyeong.”
***
Selang dua puluh menit, Yun meninggalkan Lucky Florist.
Melangkahkan kakinya menuju taman di tepi sungai Han. Kebiasaan yang mulai
dilakoninya sejak tiga bulan lalu. Yun selalu membawa tulip kuning tersebut
untuk diletakkan di salah satu bangku taman. Bangku yang dulu diduduki Min Hwa
saat Yun pertama kali melihatnya di taman ini.
Jarak dari Lucky Florist ke sungai Han tidak terlalu jauh.
Tiga puluh menit ditempuh dengan jalan kaki. Yun melangkah ringan, sesekali
terdengar lantunan lagu dari bibir tipisnya.
“Aku harap seiring mencairnya sisa salju ini, ia akan turut
membawa kebekuan hatiku.” Ujar Yun lirih saat mata elangnya menatap tepi
trotoar.
Kedatangan musim semi selalu di sambut dengan suka cita
seluruh masyarakat kota Seoul. Musim yang penuh warna, tunas-tunas baru tumbuh
di antara salju yang mencair. Ranting-ranting basah mulai ditumbuhi daun dan
bunga.
‘Ah, musim semi memang terlalu cantik jika dilewatkan begitu
saja.’ Batin Yun saat melihat beberapa pasangan kekasih yang tak jauh dari
tempatnya berdiri sedang bercanda mesra. Perasaan iri menyeruak di lubuk
hatinya, Yun ingin merasakan kebahagian itu juga.
“Yun-ssi.”
Yun menengok ke samping kanan saat mendengar seseorang
menyerukan namanya. Sekitar satu meter dari tempatnya berdiri. Yun melihat
yeoja yang ditemuinya di tempat kerja Teo tadi.
“Kau mau ke sungai Han juga? Kebetulan sekali, kami juga. Iya
kan eonnie?”
“Mwo? Sungai Han?
Bukankah tadi….”
“Tadi eonnie
menelpon mau mengajakku menikmati suasana sore di tepi sungai Han, bukan?” Sung
Rin menatap Min Rin gemas. Dia mengedip-kedipkan mata berharap Min Rin mengerti
maksud dari ucapannya.
“Eoh? Ah ya, sudah lama kita tak ke sana. Yun-ah, lama tak
bertemu. Kau sendirian?”
“Anyeong Min Rin nuna. Ne nuna aku sendiri, Teo sedang bekerja. Kalian akan ke sungai Han.
Kita bisa berjalan bersama kalau begitu.”
Sung Rin melongo, tak menyangka jika Yun dan Min Rin saling
kenal. Dia melengos sebal, lalu berjalan mendahului. Sesekali ia menengok ke
belakang, menguping pembicaraan antara Min Rin dan Yun. Sung Rin teramat
penasaran dengan topik apa yang mereka bahas.
Di tempat lain, terlihat seorang yeoja tengah berjalan memasuki sebuah toko bunga. Dia akan menuruti
saran dari kakaknya. Memberi kode pada namja yang disukainya. Yah, dia sudah
lama menunggu tapi sang namja tak
juga menyadarinya. Entahlah, sang namja
yang terlalu polos atau namja
tersebut memang tak memiliki perasaan yang sama dengannya.
“Anyeong.”
“Anyeong Min Hwa-ya. Kau mau membeli bunga juga?”
“Juga?”
“Hem, baru saja Yun membeli bunga. Sekarang kamu, bukankah
suatu kebetulan yang mengejutkan?”
“Yun? Bukankah kau bilang Yun tidak menyukai bunga?”
“Itulah yang aku maksud. Dia tidak menyukai bunga, karena itu
aku heran. Mungkin dia sedang jatuh cinta. Tapi bunga yang dia beli sedikit tak
biasa diberikan untuk menyatakan cinta.”
“Memangnya dia membeli bunga jenis apa?”
“Tulip kuning.”
Min Hwa tertegun. Tulip kuning? Mungkinkah selama ini Yun
yang memberinya bunga tulip kuning tersebut. Lebih tepatnya meletakkan, karena
dia tak pernah sekalipun bertemu dengan si pemilik bunga. Tapi mengapa bunga
tersebut yang dia pilih? Bukankah arti dari tulip kuning itu cinta bertepuk
sebelah tangan? Mungkinkah….
“Min Hwa-ya, kau melamum?”
“Ne? Ah, mian. Em, aku ingin sebuket bunga Azalea. Bisa kau
rangkaikan untukku?”
“Baiklah, tunggu sebentar ne.”
Min Hwa termenung memandangi Teo yang sibuk merangkai
pesanannya. Isi kepalanya bekerja ekstra, menyusun kepingan-kepingan cerita
yang berkelebat. Layaknya puzzle yang sulit diselesaikan. Min Hwa teringat
kata-kata kakaknya tadi malam.
“Kau ada masalah chagi? Akhir-akhir ini kau sering melamun.” Namja bermarga Lee tersebut mengusap lembut puncak kepala Min Hwa. Dong Hae,
begitu namja itu akrab dipanggil,
mengenal baik perangai adiknya.
“Oppa, apakah aku
harus menyerah saja?”
“Menyerah? Tentang perasaanmu?”
Min Hwa mengangguk lemah. Kedua bola
matanya sudah digenangi cairan bening yang sebentar lagi nyaris menetes. Dong
Hae menatap sendu adik kesayangannya tersebut, Min Hwa jarang sekali
menunjukkan kelemahannya di depan orang lain.
“Kau bahkan belum mencobanya, Min
Hwa-ya.”
“Aku sudah meminta bantuan Tae Min oppa, tapi dia sama sekali tak membantuku. Bahkan Tae Min oppa mengatakan
jika namja itu menghindarinya juga. Eottohkae?”
“Hei, kedekatanmu dengan Tae Min yang
membuat namja tersebut salah paham.” Dong Hae mencubit
gemas pipi Min Hwa. Hal yang selalu dilakukan untuk mengembalikan mood adiknya tersebut. Berhasil, hasil cubitan
Dong Hae membuat Min Hwa mengerucutkan bibirnya kesal. Dong Hae lebih senang
melihat Min Hwa kesal daripada cemberut frustasi seperti tadi.
“Jika memang kau menyukainya, jangan
hanya diam saja. Coba utarakan, setidaknya kau harus mencobanya. Kau tak akan
tahu namja itu mempunyai perasaan yang sama denganmu
atau tidak sampai kau mengutarakannya.”
“Tapi… Apa harus aku yang memulainya?”
“Kau malu? Ck, jatuh cinta benar-benar
membuat uri Min Hwa berubah. Beri dia bunga. Bunga selalu
menunjukkan perasaan asli dari si pemberi. Aku yakin dia akan mengerti.”
Min Hwa tersenyum mengingat percakapan dengan Dong Hae tadi
malam. Yah, semoga tindakannya kali ini tepat. Azalea, bunga sebagai tanda
bahwa sang penerima bunga ini ialah cinta pertama dari si pemberi. Min Hwa
semakin gugup memikirkan cara bagaimana memberikan bunga ini pada namja yang disukainya tersebut.
Di satu sisi, tanpa Min Hwa sadari Teo telah selesai
merangkai bunga pesanannya. Saat ini Teo tengah merangkai sebuket bunga mawar.
Perpaduan mawar merah dan kuning. Senyuman manis terus menghiasi wajah tampan
Teo. Sore ini Teo akan melakukan hal yang sama dengan Min Hwa, mengutarakan isi
hatinya.
“Min Hwa-ya, buket
bungamu sudah jadi. Ige.”
“Wah, neomu yeoppo.
Gomawo Teo-ya.”
“Cheonma. Em, satu
lagi. Ini untukmu.”
“Ne? Untukku?
Teo-ya….”
“Hem, aku yakin kau tahu pasti apa arti perpaduan mawar merah
dan kuning. Aku… aku selama ini menyukaimu, Min Hwa-ya.”
“Mwo?!”
Min Hwa terkejut mendengar pengakuan Teo. Selama ini dia
hanya menganggap Teo sebagai sahabat masa kecilnya. Bagi Min Hwa, Teo seperti
kakak laki-lakinya. Tak lebih. Seperti hubungannya dengan Tae Min.
***
Suasana sore hari di tepi sungai Han sangat ramai. Apalagi
sekarang sudah memasuki musim semi. Suara percikan air dipadu dengan birunya
langit, menjadi daya tarik penduduk di kota Seoul untuk mengunjungi tempat ini.
Yun memisahkan diri dari Min Rin dan Sung Rin. Ini pertama
kalinya dia bertemu dengan Sung Rin, pemilik Lucky Florist yang ternyata yeodongsaeng Min Rin. Dia tak habis pikir,
mengapa ada kebetulan semacam ini. Saat dia memutuskan untuk mulai menyerah
dengan Min Hwa. Dia justru semakin mengenal orang di sekitar gadis itu.
Semalam Yun telah memutuskan bahwa ini terakhir kalinya dia
akan membeli bunga. Terakhir kalinya dia meletakkan tulip kuning di tempat ini.
Bergantinya musim dingin ke musim semi, menyadarkannya jika kehidupan harus
berlanjut. Di dunia ini tak hanya cinta yang harus dikejar. Tapi cita-citanya
juga harus ia capai. Lunafly, band mereka telah dipanggil produser. Minggu
depan mereka akan rekaman album pertama. Kesempatan ini tak boleh ia
sia-siakan.
Musim semi, musim di mana lahir tunas baru. Yun, dia ingin
menjadi salah satu tunas tersebut. Bukan berarti dia ingin terlahir kembali.
Hanya saja dia ingin menjadi pribadi yang baru. Dia ingin seperti Teo, selalu
riang serta mudah mengekspresikan diri. Meninggalkan kesan dingin dari dirinya,
sedingin musim dingin. Dan menjadi lebih ceria, secerah warna bunga-bunga yang
tumbuh di taman saat musim semi tiba.
“Selamat tinggal gadis musim dinginku. Senang bisa
mengenalmu.”
Itulah sebaris kalimat yang ditulis Yun pada secarik kertas.
Kertas tersebut dia sematkan di antara tumpukan bunga tulip yang tadi ia bawa.
Berharap kertas tersebut tidak tertiup angin dan tersampaikan pada yeoja
pencuri hatinya.
Yun mendongak, menatap langit. Di atas jembatan yang memotong
sungai Han, muncul rona pelangi. Sebuah lengkungan terbentuk dari sudut
bibirnya. Sebuah senyuman tulus, tanpa beban.
#TantanganEmpatMusim #SpringStory #KampusFiksi
Waaahhhh.... kalau berhubungan dengan cinta terpendam dan bertepuk sebelah tangan kok nyesek ya?
BalasHapusHemm... semoga Yun menemukan seseorang yang mencintai dan dicintainya. :)
Akan lebih nyesek lagi kalau ternyata orang yang kita cintai tidak mencintai kita bukan? kkk~~
Hapusthkans sudah mampir :)