Hari yang baru, tahun yang baru, awal yang baru. Seharusnya
aku ikut larut dalam gegap gempita pergantian tahun. Tapi suasana hatiku justru
sebaliknya. Kenangan tahun lalu masih membekas di memori otakku. Aku bukan
membenci kemeriahan menyambut tahun baru. Tapi aku enggan mengakui jika aku
harus bertemu bulan Januari. Perlahan dan pasti setelah acara tahun baru, hari
itu akan tiba. Salah satu hari bersejarah dalam hidupku. Namun bukan kenangan
bahagia yang aku miliki, justru kenangan menyakitkan yang terpatri di relung
hatiku.
“Sebaiknya kita putus, Dea.” Ucap pemuda di hadapanku ini. Pemuda yang telah mendampingiku selama setahun terakhir ini. Aku melotot tak percaya mendengar penuturan Jeremy. Kerja otakku berjalan lamban seketika.
“Berpisah saja. Aku tak bisa bersamamu lebih lama lagi.” Lanjutnya. Aku masih duduk diam mendengar penjelasan yang keluar dari mulutnya.
Melihat aku tak merespon, dia menghela nafas kasar. “Dea, maafkan aku. Tapi aku harus pergi. Dia telah menungguku di mobil.”
Aku sekuat tenaga menahan agar buliran bening itu tak jatuh. Mataku mulai memanas, tenggorokanku mulai tercekat. “Di… dia? Si… siapa maksud kamu?” tanyaku terbata. Aku sebisa mungkin mengontrol suaraku agar tak bergetar.
Kulihat Jeremy menundukkan kepalanya. Tak mau menatapku. “Mary, tunanganku.”
Bagai disambar petir di siang hari, mendadak tubuhku lemas. Tetes demi tetes kristal bening mengalir dari sudut mataku. Pertahananku runtuh. Telapak tanganku melayang menutup mulutku, menahan tangis. Ini kafe, aku tak mungkin mempermalukan diri di tempat umum.
Jeremy melirikku sekilas, entah aku salah lihat atau tidak. Sorot matanya menunjukkan kekhawatiran. “Dea, kumohon. Jangan menangis. Aku tak pantas kau tangisi. Air matamu terlalu berharga untuk lelaki pengecut sepertiku. Carilah lelaki yang lebih baik dariku, kuharap kau bahagia. Sampai jumpa, Dea.”
Aku tak menggubris perkataan Jeremy. Hatiku sakit, terlalu sakit. Hari ini, 9 Januari merupakan hari jadi kami. Setahun yang lalu, Jeremy mengutarakan isi hatinya padaku. Di tempat ini, jam yang sama. Namun sekarang, hal sebaliknya yang aku dapatkan.
***
Aku tersenyum miris mengenang kejadian setahun yang lalu.
Sudah lima bulan sejak aku bertemu Jeremy terakhir kali. Kami memang sekampus,
namun sejak lima bulan lalu Jeremy menghilang. Bak ditelan bumi, tiada kabar.
Semua teman terdekatnya pun tak mengetahui keberadaannya.
Tanpa disangka, bulan lalu aku bertemu kakaknya Jeremy.
Marcus mengatakan kalau Jeremy telah meninggal bulan November kemarin. Aku shock, menangis mengetahui kenyataan.
Kini aku mengerti kenapa Jeremy memutuskanku. Dia, tak ingin membuatku sedih. Jeremy,
semoga kau tenang di sana. Terima kasih karena telah mengisi scenario hidupku.
Kau bagian terindah selama 23 tahunku di dunia ini. Selamat jalan, Jeremy.
Marathon Nulis dalam 30 menit.
Marathon Nulis dalam 30 menit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar