Author : Chiaki Minata
Title : Catch My Breath
Main Cast : Seo Joo Hyun (Seo Hyun SNSD)
Jung Yong Hwa (Yong Hwa CN Blue)
Genre : Friendship, Romance, Hurt
Length : Oneshoot
Akun twitter : @aimyeong or @fisshy8
Disclaimer : This fanfiction is original story of mine. The cast belongs to themselves. So, don’t bash me.
WARNING!!!
FF ini pernah aku ikutin lomba di 2 page yg berbeda..
Jadi jika ada di antara Readers yg pernah membaca, ni FF asli bikinanku..
jangan menuduh aku plagiat ne..
gomapta ^^
~~~ Story Begin ~~~
Sepi tak berarti sendiri, dan dalam kesendirian seringkali kau merasa sepi.
Semilir
angin berhembus menerpa kulit wajahku. Tak kuhiraukan terpaannya yang
merusak tatanan rambutku. Aku terus melangkah, sedikit berlari mengejar
waktu. Terus kulirik benda digital di pergelangan tangan kiriku.
Terpampang jelas angka 08.15 yang menandakan kalau aku terlambat masuk
kuliah.
“Seo Hyun-ah!”
Ku alihkan segera fokus
penglihatanku ke segala arah. Mencari sumber suara yang memanggil
namaku. Tak jauh di depanku, berdiri seorang yeoja berambut panjang yang
tengah melambai.
Seo Hyun. Seo Joo Hyun. Nama yang diberikan oleh
kedua orang tuaku. Aku anak kedua dari tiga bersaudara, seorang oppa
bernama Seo In Guk dan yeodongsaeng bernama Seo Yu Na. Keluarga yang
dulu sangat bahagia, namun kini tinggal sebuah kenangan di memory
otakku.
“Yak! Kau melamun, eoh?”
“Aniya, Yoon Ah-ya.
Kajja kita segera masuk, aku mendapat pesan singkat dari Shin Hye kalau
Lee Sonsaengnim sedang dalam suasana hati yang tidak baik.”
“Jeongmalyo? Aish, kita pasti akan mendapat ceramah pagi, Seo Hyun-ah.”
Aku
hanya terkikik geli melihat ekspresi kesal di wajah Yoon Ah. Im Yoon Ah
merupakan teman kuliahku di Konkuk University. Satu di antara 3 sahabat
yang kumiliki hingga saat ini.
Im Yoon Ah sosok yang selalu
ceria, pintar menyembunyikan masalahnya, dan terkadang suka memimpin.
Park Shin Hye, dia yang paling muda di antara kami tapi pemikirannya
yang paling dewasa dan selalu menjadi sandaran keluh kesah kami.
Terakhir ialah Ahn So Hee, yeoja pemalu namun pintar dan selalu
berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu.
Di depan mereka
bertiga aku bisa sedikit melupakan masalahku. Masalah keluarga yang
sangat menyebalkan, menurutku. Selain itu, masalah dengan salah satu
mantan namjachingu. Rasanya aku ingin menyerah pada hidup ini. Sungguh
melelahkan dan membosankan menjalani keseharian seperti ini.
“Pulang kuliah kita ke tempat biasa kan?” Tanya So Hee.
“Tentu. Aku dan Yoon Ah sudah sangat kelaparan. Kau ikut kami kan Seo Hyun-ah?”
“Mianhae,
aku sedikit lelah hari ini. Aku ingin langsung pulang ke rumah saja.”
Ujarku sedikit berbohong. “Kalian bersenang-senanglah tanpaku. Bye.” Lanjutku sambil berlalu dari hadapan mereka.
Aku
iri dengan mereka. Mereka tidak menghadapi masalah serumit diriku.
Keluarga mereka masih lengkap. Mereka memiliki orang-orang yang tulus
menyayanginya. Sedangkan keluargaku nyaris berantakan, ayah dan ibuku
akan segera bercerai. Tak mempedulikan perasaanku. Aku iri dengan si
kecil Yu Na yang belum mengerti permasalahan di keluarga kami. Dan dia
masih mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuaku. Terutama ayahku.
Dulu
aku sangat mengagumi sosok ayahku. Sebelum Yu Na lahir, akulah yang
paling disayang oleh ayahku. Appa selalu menuruti semua keinginanku.
Eomma juga tak pernah tak mengabulkan permintaanku. Tak terkecuali
kakakku, In Guk.
Kamar ini saksi bisu keluh kesahku, tumpahan air
mata yang hampir tiap malam aku teteskan. Tekanan batin yang aku terima
dari keadaan keluarga semakin menambah rumit kinerja otakku. Masalah
dengan Kyu Hyun, mantan kekasihku belum sepenuhnya selesai. Pemutusan
sepihak dan perselingkuhan yang dilakukannya seolah jadi tikaman di ulu
hatiku. Bekas luka yang masih menganga di siram dengan air garam saat
mengetahui fakta bahwa hubungan In Guk oppa dengan tunangannya nyaris
kandas karena keadaan keluargaku.
Orang-orang dewasa itu sungguh
egois. Disini aku sendirian menanggung kepedihan hidup. Di pihak lain,
mereka hanya memikirkan kesenangan pribadi. Lalu apa gunanya lagi aku di
dunia ini. Semua terasa hambar, hampa, sepi dan meletihkan.
“Seo Hyun-ah, kau sudah pulang Nak. Ayo makan bersama, kakak dan adikmu sudah menunggumu di meja makan.”
“Ne, eomma. Tunggu sebentar, aku akan ganti baju terlebih dahulu.”
Setelah
berganti dengan pakaian casual yang lebih nyaman, aku segera menuju
ruang makan. Mataku memanas melihat sosoknya. Aku hendak berbalik ke
kamarku, namun sebuah teguran menghentikan langkahku.
“Seo Hyun-ah, duduklah di sebelah Oppa.” Dengan langkah gontai aku menghampiri bangku kosong di sebelah kakakku.
Hening.
Tak ada yang berani membuka percakapan. Aku pun masih enggan menjawab
pertanyaan laki-laki yang duduk di ujung meja ini. Laki-laki yang
dulunya aku panggil Appa. Entah masih pantaskah aku memanggilnya dengan
sebutan itu.
“Bagaimana kuliahmu Seo Hyun-ah?”
“Buruk.” Jawabku dalam hati. Buat apa pula kau menanyakan hal semacam itu. Apa pedulimu?
“Apakah harimu menyenangkan?” Lanjutnya.
Diam.
“Eomma
sudah memasakkan makanan kesukaan kalian. Kajja, kita makan. Kalau
sudah dingin nanti tidak enak.” Oh Tuhan, mengapa ibuku sebaik ini? Dia
selalu berusaha mencairkan suasana yang memanas saat ada Appa di rumah.
Terbuat dari apakah hatinya? Mianhae Eomma, aku selalu merepotkanmu
dengan sifat kekanak-kanakanku.
Aku merasakan kehangatan yang
menjalar di seluruh tubuhku. Kutundukkan kepala, terlihat tangan kekar
In Guk oppa menggenggam tanganku lembut. Kutatap wajahnya, terlihat
matanya seolah mengatakan, “Bersabarlah. Semua akan baik-baik saja.”
Bibirku otomatis membentuk lengkungan ke atas, sebuah senyuman paksa.
Makan
malam berjalan dengan canda tawa (yang menurutku berisik) oleh
ocehan-ocehan dari bibir Yu Na. Rengekan khas anak kecil yang meminta
mainan dari Appa. Eomma sesekali menanggapi dan membujuk Yu Na untuk
bersikap tenang. In Guk oppa lebih bisa menguasai keadaan, setidaknya
dia sanggup berpura-pura tersenyum dan tertawa melihat tingkah Yu Na.
Jangan tanya bagaimana sikapku, aku hanya diam sambil terus menyantap
hidangan yang tersaji dihadapanku. Aku sama sekali tak mempedulikan
orang-orang disekelilingku.
“Aku sudah selesai makan. Aku akan ke kamar dahulu, banyak tugas dari kampus.”
“Eoh, kau tak mau ikut berbincang bersama kami Seo Hyun-ah?”
Huh.
Aku mendengus kesal mendengar kalimat yang baru saja diucapkannya.
Apakah dia buta? Tidak bisakah dia melihat ketidaksukaanku terhadap
kehadirannya disini?
“Sudahlah Appa, mungkin Seo Hyun lelah.” Ujar In Guk oppa membela.
Kembali
aku langkahkan kakiku menuju kamarku yang terletak di lantai dua.
Sampai akhirnya sebuah kalimat yang tertangkap indera pendengaranku
menghentikanku.
“Siapa yang mengajarimu bersikap tidak sopan seperti itu Seo Hyun-ah?”
Kubalikkan
tubuhku menghadap Appa (jika masih boleh aku memanggilnya demikian).
Kutatap tajam ke manik matanya. Memperlihatkan amarah yang telah aku
tahan dari tadi. Aku hendak melancarkan semua kata-kata pedas yang
terkunci di mulutku, namun sebuah kejadian tak terduga terjadi begitu
cepat.
PLAK.
“Kau. Masih bisa kau menanyakan pertanyaan seperti itu? Apa kau tidak mengaca? Apa kau sedang mabuk? In Guk-ah, bawa adik-adikmu ke kamar.”
In
Guk oppa langsung menggendong Yu Na dan menghampiriku dengan raut
khawatir. Dia menggandeng lembut tanganku, lalu mengajak ke kamar Yu Na
yang terletak di lantai dua. Tepat di sebelah kamarku. Yu Na sesenggukan
di pelukan kakakku. Mungkin dia terkejut dengan pertengkaran yang
berlangsung tadi.
“Uljimma, tenanglah Yu Na-ya. Gwaenchana.” Kataku berusaha menenangkannya. Padahal suasana hatiku sendiri jauh dari kata baik. Mataku mulai memanas.
TES.
Setetes
buliran bening mengalir di pipiku dengan mulus. In Guk oppa meraihku ke
dalam dekapannya. Menyalurkan kekuatan untukku. Bibirnya terlihat
bergetar, aku tahu dia pun menahan amarah. Selalu seperti ini, jika
lelaki itu muncul ke rumah. Akhirnya akan terjadi pertengkaran. Ini
sudah ke sekian kalinya, biasanya Yu Na sudah tertidur. Tapi kali ini,
dia menyaksikan sendiri kedua orang yang disayanginya saling berteriak.
Jiwanya pasti terguncang, adikku yang malang.
~~~ 0 o 0 ~~~
Kesendirian adalah kejujuran terhadap diri sendiri.
“Seo Hyun-ah, gwaenchanayo?”
“Ne?”
“Kau terlihat pucat Seo Hyun-ah. Apa kau sakit?” Kata Shin Hye menimpali ucapan So Hee. Bahkan Yoon Ah menatapku curiga.
“Aku
baik-baik saja. Jangan menatapku seperti itu. Kalian seolah ingin
menerkamku layaknya melihat daging sapi panggang. Aish.” Aku tertawa
menanggapi perkataanku sendiri. Kulirik So Hee sekilas, dia menatap iba
ke arahku. Kuperlihatkan senyum terbaik agar dia tak khawatir
berlebihan. Dia mendesah pelan, lalu ikut tersenyum melihatku.
Sebenarnya
aku belum siap jika harus menceritakan pada orang lain. Namun, entah
bagaimana So Hee bisa mengetahuinya. Mungkin In Guk oppa yang mengatakan
pada So Hee. In Guk oppa akhir-akhir ini sering menjemputku ke kampus.
Dan sembari menunggu jam kuliahku selesai, biasanya So Hee menemaninya
berbincang di taman kampus.
Aku belum menceritakan kepada kalian
jika kami berempat berbeda jurusan. Aku berada di jurusan Film &
Art. So Hee dan Shin Hye di jurusan Art Culture. Sedangkan Yoon Ah di
jurusan Image & Film. Memang dari kecil cita-citaku menjadi seorang
sutradara. Kuliah disini merupakan batu loncatan untuk menggapainya.
“Ommo,
aku terlambat. Mianhae, aku ada janji dengan teman satu jurusan akan
mengerjakan tugas bersama. Aku duluan, ne? Sampai ketemu besok.” Aku
melakukannya lagi. Menghindar. Agar mereka tak mengetahui permasalahan
yang aku hadapi.
“Aish, kenapa akhir-akhir ini kau sibuk sekali Seo Hyun-ah? Kau bahkan jarang kumpul bersama kami lagi? Apa ada yang kau sembunyikan?” Tegas Yoon Ah.
“Aniya,
aku memang sedang banyak tugas. Mian.” Aku berdiri dan melangkah pergi
dari Boice Kafe, tempat favorit kami saat berkumpul. Tak kupedulikan
lagi gerutuan yang dilontarkan mulut Yoon Ah maupun Shin Hye.
“Hati-hati, Seo Hyun-ah.” Teriak So Hee.
Sebenarnya
aku tidak memiliki janji dengan siapa pun. Bahkan aku tidak terlalu
dekat dengan teman satu jurusan. Kebohongan yang bodoh. Aku sadar, Yoon
Ah dan Shin Hye pasti mengetahui tingkah konyolku ini. Mereka berdua
sangat sensitif dengan lingkungan sekitar, mudah beradaptasi dan peka
terhadap teman.
Tanpa kusadari langkahku terhenti di depan ruang
multimedia. Ragu-ragu aku memasuki ruangan di hadapanku ini. Gelap. Tak
ada orang. Sangat wajar karena ruangan ini tidak sedang dipakai untuk
perkuliahan. Aku menuju ke ruang proyektor.
Inilah kebiasaan yang
akhir-akhir ini aku lakukan. Menyendiri sambil memutar beberapa film.
Film yang bertemakan keluarga. Bukan keluarga yang hancur seperti yang
aku punya. Tapi keluarga yang bahagia. Seperti keluargaku dahulu,
sebelum wanita itu datang mengusik kehidupan kami. Seorang wanita yang
menggantikan posisi Eomma di hati Appa.
Tiga puluh menit yang
lalu, saat masih bersama mereka. Aku masih sanggup tertawa dan bercanda
menanggapi gurauan Shin Hye. Sekarang, keheningan yang menyergapku
menampilkan sifat asliku. Diriku yang kesepian, terluka, dan tersakiti.
Aku
bisa tertawa melihat adegan lucu yang ditampilkan di layar. Aku juga
ikut menangis menyaksikan tokoh utama bersedih. Aku benar-benat terbuai
dengan suasana yang disampaikan oleh sang sutradara.
Aku sungguh
merindukan masa kecilku yang bahagia. Kini, tak lagi kurasakan belaian
kasih sayang dari Eomma. Beliau bahkan jauh menderita dibandingkan
diriku. Nappeun Appa, aku membencimu.
~~~ 0 o 0 ~~~
Tanpa kau sadari, kesendirianmu menghanyutkanku.
“Akankah gadis itu disana lagi?” Ucapku dalam hati.
“Yong Hwa-ya, wae geurae?”
“Ne? Ani, aku hanya sedang memikirkan sesuatu. Mianhae, aku duluan ne. Ada hal yang harus aku urus.”
“Yak, Yong Hwa-ya. Tugas kita belum selesai. Eodiga? Yak, Yong Hwa-ya.”
Teriakan
dari teman satu kelompokku tak aku hiraukan. Di memori otakku hanya
mengingat gadis itu. Seo Joo Hyun. Gadis angkuh teman satu jurusanku.
Dia mungkin tidak mengenalku, tapi aku sangat mengenalnya. Gadis cantik
idola semua namja di Jurusan Film & Image. Di kelas saat mengikuti
perkuliahan dia sangat pendiam dan tertutup. Hanya akan membuka mulut
jika benar-benar ada hal penting. Namun dia menjadi sosok yang periang
saat bersama tiga orang sahabatnya.
Bagaimana aku bisa begitu mengenalnya? Aku menjadi stalker
seorang Seo Joo Hyun. Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah
kenyataannya. Awalnya aku tidak tertarik ke dalam kehidupannya. Bahkan
dia bukan seorang artis, lalu mengapa aku harus menguntitnya? Senyumnya.
Itulah alasanku melakukan semua tindakan ini.
Suatu hari buku
kuliahku tertinggal di ruangan multimedia. Karena ada tugas untuk hari
besok, aku memutuskan untuk mengambilnya meskipun hari sudah malam.
Tanpa aku sangka, ruangan yang biasanya gelap dan sepi itu kali ini
terlihat remang dan terdengar suara orang yang bercakap-cakap.
Pelan-pelan aku masuk, berusaha agar tidak menimbulkan suara. Di tengah
ruangan, kulihat seorang yeoja sedang menatap layar dengan penuh
keseriusan. Aku tersenyum melihatnya. Diam-diam aku duduk di pojok
ruangan, jauh dari jangkauan yeoja itu. Berharap yeoja itu tidak
menemukanku. Begitulah awal mula aku mulai tertarik pada sosoknya.
Mungkin aku pun terlanjur menyukainya.
Selama ini yang aku tahu,
Seo Hyun sosok yang pendiam. Tapi tidak pemurung seperti sekarang. Duduk
diam memandang khidmat film keluarga yang muncul di layar proyektor.
Selalu film yang bertemakan keluarga.
Dari awal kuliah dia selalu
memiliki nilai yang sempurna. Namun akhir semester kemarin, tiba-tiba
nilainya jatuh. Bahkan biasanya dia menduduki peringkat lima terbaik,
kali ini dia bahkan tak masuk sepuluh besar. Mungkinkah ini alasannya?
Apakah ada pengaruh dari keluarganya?
Seperti biasanya, aku
bersembunyi di pojok ruangan. Menjaga jarak agar Seo Hyun tidak
mengetahui keberadaanku. “Belum, aku rasa ini belum saatnya menunjukkan
diriku di hadapanmu. Seo Joo Hyun.” Kataku lirih.
Jemari tangan
Seo Hyun mengusap wajahnya dengan lemah. Aku rasa dia menangis, seperti
biasanya. Meskipun tak terdengar isakannya, tapi aura yang terpancar
dari diri Seo Hyun menunjukkannya. Kadang aku berpikir, kenapa Seo Hyun
begitu suka menyendiri? Padahal dia jauh terlihat cantik saat tersenyum
bersama sahabatnya. Entahlah. Namun tetap saja, meskipun wajahnya
terlihat sendu, dia tetap membuatku terpukau. Terpesona akan elok
parasnya. Terhipnotis oleh tingkah lakunya dan kepribadiannya. Semua
membuatku penasaran akan sosok yeoja bermarga Seo tersebut.
~~~ 0 o 0 ~~~
Saat aku sendiri dalam duniaku, kau hadir membawa mimpi.
Kuliah
Kim Sonsaengnim sore ini berlangsung singkat. Beliau mengatakan ada
urusan penting. Dalam hati aku bersorak riang, karena itu artinya aku
tidak perlu berlama-lama mendengarkan ceramahnya. Percuma saja aku
mendengarkan, pikiranku sedang tak berada disini. Sejak mendapat kabar
tadi malam aku susah memfokuskan konsentrasi. Kabar yang sangat menohok
kestabilan emosiku.
Aku putuskan untuk menuju taman kampus,
sekadar melepas penat. Saat ini aku hanya ingin sendiri. Sudah beberapa
hari aku tidak berkumpul bersama mereka. Shin Hye dan So Hee sedang
sibuk dengan proyek tugas kuliahnya. Yoon Ah sedang ada masalah dengan
namjachingunya. Aku merasa tak enak hati jika harus menambah beban
pikiran mereka. Dan itu membuatku semakin merasa sendiri. Tak memiliki
tempat berbagi.
“Anneyong.” Suara seorang namja menyadarkan lamunanku. Kutengadahkan wajah, mencoba menatap sang pemilik suara.
“Em,
aku rasa ini milikmu. Tadi kulihat jatuh di bawah kursi tempatmu
duduk.” Kuturunkan arah pandangan ke tangannya yang terulur padaku.
Sebuah buku bersampul merah jambu.
“Buku harianku. Astaga. Bagaimana bisa aku seceroboh ini?” Rutukku dalam hati. “Kamsahamnida …” Ucapku terputus.
“Yong Hwa. Jung Yong Hwa. Kita satu jurusan.”
“Mianhaeyo.”
“Gwaenchanayo.
Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita memang belum pernah berkenalan
secara resmi.” Kutatap tak percaya namja dihadapanku ini. Baru kali ini
ada seseorang yang bisa berkata santai. Biasanya mereka akan langsung
mencemoohku atau mengatakan aku gadis yang sombong karena tak mengenal
temannya sendiri.
“Bangapseumnida.” Akhirnya mulutku mau bersuara juga. Entah mengapa perkataannya tadi mampu membuatku merasa gugup.
“Bukankah kita seumuran. Aku rasa tidak perlu seformal itu Seo Hyun-ah.
Boleh aku memanggilmu seperti itu? Nado, bangapta.” Ujarnya panjang
lebar lalu tersenyum renyah. Tanpa aku sadari, aku pun ikut tersenyum
melihatnya. Lalu kusambut jabat tangannya. Hangat. Itulah yang aku
rasakan dari sentuhan tangannya.
Namja ini memiliki rasa humor
yang tinggi. Mengingatkanku pada Shin Hye. Si penyegar suasana saat kami
berkumpul. Yong Hwa mampu membuatku tertawa lepas. Namja ini layak aku
acungi jempol. Belum ada sehari kami berkenalan, dia secara lugas
berbicara non formal denganku. Bukannya aku tidak menyukainya, akan
tetapi ini hal baru menurutku.
“Yong Hwa-ssi, apakah tadi kau… Em… bagaimana mengatakannya? Apakah kau…”
“Ani.
Aku tidak melihatnya. Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau ingin
menanyakan apa aku membuka bukumu, kan? Jangan khawatir, aku tidak
melakukannya.”
“Syukurlah. Mianhae.”
“Aish, kau ini. Mengapa
suka sekali mengatakan kata maaf? Kau tidak sedang melakukan suatu
kejahatan. Jadi kau tak perlu mengatakan maaf. Arraseo?”
Aku
anggukan kepalaku tanda mengerti. Setiap kata yang dia ucapkan begitu
penuh penekanan. Apakah dia kesal padaku? Tapi mengapa? Mollayo.
~~~~~
Sudah
satu bulan aku mengawasimu Seo Hyun. Aku tak sanggup lagi menahan diri.
Aku tak sanggup lagi terus-terusan melihatmu sedih dan sendiri. Mungkin
Tuhan mendengar doaku. Tanpa sengaja sore ini kau menjatuhkan bukumu di
ruang perkuliahan. Sengaja aku biarkan kau keluar, aku hanya mencari
tempat yang nyaman untuk memperlihatkan diriku.
“Anneyong.”
Kuberanikan diri untuk sekadar menyapamu. Aku harap suaraku tidak
bergetar, sehingga kau tak mengetahui betapa gugupnya diriku. Kau
tengadahkan wajahmu melihatku. Jantungku seakan ingin melompat dari
tempatnya saat manik matamu menatap tepat ke mataku. Sorot mata yang
menunjukkan kebingungan.
“Em, aku rasa ini milikmu. Tadi kulihat
jatuh di bawah kursi tempatmu duduk.” Kau terlihat terkejut. Hati-hati
kau menerima buku dari tanganku.
“Kamsahamnida…”
“Yong Hwa.
Jung Yong Hwa. Kita satu jurusan.” Yah, sudah aku duga kau pasti tidak
mengetahui namaku. Aku tidak heran, karena memang selama ini kau jarang
bergaul dengan kami, teman satu jurusanmu.
“Mianhaeyo.”
“Gwaenchanayo.
Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita memang belum pernah berkenalan
secara resmi.” Kali ini kau menatapku dengan kagum. Kuusap tengkukku
canggung. Yeoja ini benar-benar membuat duniaku jungkir balik. Aku
semakin gemas melihatnya.
“Bangapseumnida.”
“Bukankah kita seumuran. Aku rasa tidak perlu seformal itu Seo Hyun-ah.
Boleh aku memanggilmu seperti itu? Nado, bangapta.” Kujelaskan panjang
lebar, berusaha menghilangkan suasana kikuk yang ada. Terulur tangan
kananku, berharap semoga Seo Hyun mau menyambutnya. Aku hampir bersorak
senang karena ternyata dia mau menerima ajakanku.
Lama aku
berbincang dengan Seo Hyun. Ternyata gadis ini tidak sepenuhnya pendiam
seperti yang aku kira. Apakah masalah yang kau hadapi begitu pelik
hingga kau menutup diri Seo Hyun-ah?
“Yong Hwa-ssi,
apakah tadi kau… Em… bagaimana mengatakannya? Apakah kau…” Tiba-tiba
saja Seo Hyun Nampak bingung hendak mengatakan sesuatu. Aku menangkap
maksud dari perkataannya.
“Ani. Aku tidak melihatnya. Aku tahu
maksud pertanyaanmu. Kau ingin menanyakan apa aku membuka bukumu, kan?
Jangan khawatir, aku tidak melakukannya.” Karena tanpa membukanya aku sudah cukup tahu apa yang menimpamu, Seo Hyun-ah. Lanjutku dalam hati.
“Syukurlah. Mianhae.”
“Aish,
kau ini. Mengapa suka sekali mengatakan kata maaf? Kau tidak sedang
melakukan suatu kejahatan. Jadi kau tak perlu mengatakan maaf. Arraseo?”
Aku berkata tegas. Sedikit kesal karena dia sering sekali meminta maaf.
Padahal ini bukan sesuatu kesalahan yang harus di pertanggungjawabkan.
Gadis ini benar-benar kelewat polos.
~~~ 0 o 0 ~~~
Hampir
dua bulan aku tak ikut berkumpul dengan tiga sahabatku. Kesibukan
kuliah dan masalah kedua orangtuaku membuatku sedikit mengasingkan diri.
Hanya Yong Hwa yang masih setia mendampingiku. Karena kami satu
jurusan, presentase untuk bertemu jauh lebih besar dibandingkan
sahabatku yang berbeda jurusan.
Siang ini di waktu senggangku, aku
memutuskan untuk ikut berkumpul bersama mereka. Tak kupungkiri, aku pun
merindukan sosok mereka. Bagaiman pun juga, merekalah penyemangatku
selama ini. Dan disinilah aku, Boice Café, tempat kami biasa berkumpul.
Aku langkahkan kakiku menuju meja yang biasa kami gunakan untuk
menghabiskan waktu bersama. Disana sudah mereka bertiga sudah berkumpul.
Aku lihat Yoon Ah melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya dan
sedikit mempercepat langkah.
“Seo Hyun-ah, neomu boghosipposeo.”
“Nado, So Hee-ya. Bagaimana kabar kalian?”
“Kurang baik. Kami begitu merindukanmu.” Ucap Shin Hye tegas.
“Mianhae, akhir-akhir ini aku cukup sibuk.”
“Yeoja
pabo, kau anggap apa kami selama ini? Kau ada masalah tapi tak pernah
mau menceritakan masalahmu pada kami. Apa itu namanya sahabat, huh?”
Ketus Yoon Ah.
Kulirik ke arah So Hee, sorot matanya seolah
berkata, “Maafkan aku. Aku sudah menceritakan semuanya pada mereka. Aku
hanya tak ingin melihatmu bersedih lagi.”
Aku mendesah pelan. Lalu
kutampilkan senyum terbaikku. “Nan jeongmal gwaenchana. Dan aku… aku…
karena aku hanya…” Aku tak mampu meneruskan kata-kataku. So Hee langsung
membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menangis dalam diam. Tak
kuhiraukan tatapan pengunjung Café lainnya. Saat ini, aku hanya ingin
menangis dan menumpahkan segala beban pikiranku.
Kurasakan belaian
lembut di punggung dan pucuk kepalaku. Aku sangat yakin bahwa Yoon Ah
dan Shin Hye yang melakukannya. Meskipun kata-kata mereka tajam, tapi
aku menyadari bahwa mereka sangat menyayangiku.
Mungkin
sebaiknya aku tak mengetahui apa yg sebenarnya terjadi. Jika kenyataan
itu hanya akan menyakitiku. Kini, berpura-pura pun percuma. Semua sudah
terungkap. Eottohkaji?
Aku pun menceritakan
semua masalah yang menimpaku. Bagian di mana aku dan Kyu Hyun mengakhiri
hubungan, mereka sudah tahu pasti. Tapi alasanannya karena apa, mereka
belum mengetahuinya.
“Kyu Hyun, dia selingkuh dengan Victoria.
Victoria Song. Gadis yang dikenalkan pada kita sebagai temannya. Gadis
yang selalu membantuku saat menghadapi masalah dengan Kyu Hyun. Dia…
dia…”
“Kau tidak perlu melanjutkan perkataanmu Seo Hyun-ah.
Kami tahu apa maksudmu. Bersabarlah. Namja itu kelak akan mendapatkan
balasan yang setimpal.” Kata Yoon Ah. Kulihat air muka Yoon Ah pun
dipenuhi amarah.
“Selang satu minggu, aku mendapat kabar bahwa
Appa dan Eomma akan bercerai. Sudah lama hubungan mereka renggang.
Mereka juga sering bertengkar. Tapi aku tak menyangka jika hubungan
kedua orang tuaku sampai separah itu, bahkan harus di akhiri secara
hukum. Dan suatu hari Eomma mengatakan padaku jika tak bisa lagi bersama
Appa. Karena Appa mempunyai wanita lain. Appa… Lelaki itu melakukan hal
yang sama seperti Kyu Hyun. Aku…”
Kali ini aku berhambur ke
pelukan Shin Hye. Aku tak sanggup lagi jika harus meneruskan
perkataanku. Hatiku benar-benar terluka. Tapi ada kelegaan tersendiri
saat bisa mencurahkan isi hatiku pada mereka.
“Kalau kamu tak sanggup lagi bercerita. Cukup Seo Hyun-ah. Masih ada hari esok, kami selalu ada untukmu. Kapanpun kau membutuhkan kami.”
“Gomawo So Hee-ya.
Gomawo. Kalian benar-benar sahabat terbaikku. Jujur aku iri dengan
kalian. Kalian masih memiliki keluarga yang lengkap. Sedangkan aku, ah,
sudahlah.” Aku tersenyum miris mengingat nasibku. Setelah cukup tenang,
aku kembali melanjutkan ceritaku. Masalah yang di alami oleh In Guk
oppa dan tunangannya.
“Seo Hyun-ah, oppamu dia baik-baik
saja. Hubungan mereka sekarang juga jauh lebih baik. Dua bulan lagi,
mereka akan menikah. Kau tak perlu lagi mengkhawatirkan oppamu.” Aku
terkejut mendengar penuturan So Hee. Bagaimana bisa aku tak mengetahui
kabar kakakku sendiri? Apa aku semurung itu meratapi nasib?
“In Guk oppa, mianhae. Aku telah menambah beban pikiranmu. Aku menjadi dongsaeng yang buruk bagimu.” Keluhku dalam hati.
“Seo Hyun-ah. Kudengar kau sedang dekat dengan namja satu jurusanmu. Apa kalian berpacaran?”
“Mwo?
Aniya, kami hanya berteman saja. Dia banyak membantuku akhir-akhir ini.
Apalagi saat kalian sibuk. Aku sangat tertolong dengan kehadiran dia.
Yak, dari mana kau mendengar gosip murahan itu Yoon Ah-ya?”
“Gosip
murahan katamu? Bahkan berita ini sudah sangat menyebar di kampus.
‘Yeoja marga Seo yang berhati dingin dan sombong takluk pada anak
keluarga Jung’ seperti ini yang kau bilang gosip murahan? Aku sendiri
tidak yakin berita itu benar. Tapi melihat semburat merah di wajahmu
itu, menurutku…”
“Yak, jangan menggodaku Park Shin Hye. Jeongmalyo, aku dan Yong Hwa hanya berteman. Tidak lebih.”
“Oh, namanya Yong Hwa.” Ujar So Hee kalem. Hal ini justru membuatku semakin geregetan. Kucubit lengan kanannya.
“Aww. Yak, Seo Hyun-ah, mengapa kau menyubitku?”
Kujulurkan
lidahku ke arah So Hee. Siapa suruh ikut-ikutan menggodaku. Namun ada
desiran halus saat aku mengucapkan nama Yong Hwa. Mungkinkah benar kata
mereka, jika ada apa-apa di antara kami. Tidak, maksudku, apakah mungkin
aku mulai menyukainya? Keundae, aku takut perasaanku ini hanya sepihak.
Aku belum siap untuk kembali terluka.
~~~ 0 o 0 ~~~
Kau yang tiba-tiba datang di kesendirianku. Aku mulai merindukan sosokmu yang membawaku pergi dari jurang sepi.
Dua
hari ini Yong Hwa tidak masuk kuliah. Ijin yang tertulis dia sakit.
Apakah sakitnya parah? Mengapa sampai dua hari dia tak berangkat? Tanpa
dirinya, aku kembali merasakan kesepian. Tunggu dulu, apa aku
merindukannya? Sepertinya aku benat-benar jatuh ke dalam pesona lelaki
bermarga Jung tersebut.
Berbekal sebuah alamat dari salah seorang
teman satu jurusanku. Aku memutuskan untuk menengok Yong Hwa.
Teman-temanku sudah menjenguknya tadi siang. Mereka tidak mengajakku
karena aku sedang ada rapat organisasi.
Ternyata Yong Hwa anak
seorang konglomerat. Dia tinggal di area Gangnam, salah satu kawasan
elit di kota ini. Kuberanikan diri melangkah ke pintu utama di antarkan
security. Sampai di ruang tamu, seorang ahjumma menemuiku. Dia
mengajakku menuju kamar Yong Hwa berada. Bermodalkan sebuket bunga dan
parcel buah, aku berjalan hati-hati di belakang seorang ahjumma. Aku
rasa ahjumma ini merupakan salah satu pelayan di keluarga Song.
“Silahkan masuk nona. Tuan muda sudah menunggu.”
“Kamsahamnida ahjumma.”
Pelan-pelan
aku buka pintu kamar Yong Hwa. Aku menjulurkan kepala menengok ke dalam
kamar untuk mencari keberadaannya. Kutemukan dia tengah duduk santai di
atas kasur king zise sembari tersenyum melihatku.
“Masuklah. Jangan hanya mengintip seperti itu.”
Aku
tertawa malu mendengar perkataannya. Yong Hwa sangat mengenal sifatku.
Secara perlahan aku menuju bangku di sebelah tempat tidurnya, meletakkan
tas. Setelah itu kuletakkan parcel di atas nakas, dan mengganti bunga
yang berada di vas dengan bunga yang aku bawa.
“Tidak apa-apa jika
aku mengganti bunganya?” Yong Hwa mengangguk lemah, tetap menampilkan
senyum andalannya. Aku segera duduk di sebelahnya.
“Kau sakit apa Yong Hwa-ya?”
“Hanya typus. Aku sedikit kelelahan dan terlambat makan. See,” Ujarnya lembut. “Waeyo? Kau mengkhawatirkanku?” Godanya.
“Apa terlihat sekali?”
“Aku akan cepat sembuh jika itu kebenarannya.”
Hening. Aku masih diam mencerna kata-kata yang baru saja terucap darinya.
“Apa sikapku selama ini masih belum kau pahami? Kau sungguh polos Seo Hyun-ah.” Dia mendesah frustasi. Apa yang belum aku pahami? Apakah dia…
“Ne, aku menyukaimu Seo Hyun-ah.
Dari awal pertemuan kita. Bahkan jauh sebelum itu. Aku sudah jatuh
cinta akan pesonamu. Wajah sendumu saat sendirian melihat film di ruang
multimedia. Senyum dan tawamu saat bersama sahabat-sahabatmu. Sikap
cuekmu di ruang perkuliahan. Semuanya. Aku mengamatimu. Selalu. Dan kau
masih belum menyadarinya?”
“Aku…”
“Aku tak akan memaksamu untuk menjadi kekasihku Seo Hyun-ah.
Aku hanya akan menunggu. Bisakah kau beri kesempatan padaku. Aku
berjanji tidak akan seperti mantan kekasihmu, atau juga Appamu. Kau,
selalu akan menjadi yang pertama dan wanita satu-satunya di hatiku.
Percayalah padaku.”
Yong Hwa menggenggam lembut jemari tanganku.
Kehangatan yang dulu aku rasakan saat pertama kali bertemu dengannya,
kembali menjalar ke seluruh tubuhku.
Apakah kali ini aku harus
mempercayainya. Logikaku masih sulit menerima, akan tetapi hatiku
mengatakan bahwa apa yang dia ucapkan sungguh-sungguh. Untuk saat ini,
aku ingin mengikuti nuraniku. Semoga aku mengambil keuputusan yang
benar.
“Aku merindukanmu Yong Hwa-ya. Aku membutuhkanmu. Aku merasa sepi saat kau tak disampingku. Aku… aku mohon, bantu aku untuk tak lagi membenci kaum namja.”
Yong
Hwa menarikku ke dalam pelukannya. Nyaman. Itulah kata yang dapat
menggambarkan suasana hatiku saat ini. Dibelai mesra rambutku. Aku
semakin menenggelamkan kepalaku di dada bidangnya.
“Tentu. Aku akan membantumu menghilangkan trauma itu. Aku akan selalu bersamamu. Saranghae.
Aku
tak menjawab ungkapan cinta dari Yong Hwa. Biarlah waktu yang
memutuskan. Aku masih butuh sedikit lebih lama untuk memahami isi
hatiku. Aku tak ingin menyakiti namja sebaik Yong Hwa. Kelak saat aku
sudah yakin dengan nuraniku. Aku akan menjawabnya. Dan aku harap, dia
sanggup bersabar hingga saat itu tiba.
~~~ END ~~~
Kisah yang terlewatkan
“Seo Hyun-ah, boleh aku bertanya sesuatu.”
“Tentu.”
“Akhir-akhir ini aku jarang melihatmu bersama sahabat-sahabatmu. Apa kau sedang ada masalah dengan mereka?
“Ani. Aku hanya ingin sendiri. Tak ingin merepotkan orang lain.”
“Tapi, sahabatmu pasti tidak berpikir seperti itu Seo Hyun-ah.”
“Maksud kamu?”
“Kau
mengatakan kalau So Hee mengetahui permasalahan di keluargamu. Cepat
atau lambat, So Hee pasti akan bercerita pada dua sahabatmu yang lain.
Coba kau bayangkan bagaimana perasaan mereka? Mereka pasti sangat
mencemaskanmu. Tak ada seorang sahabat yang tega melihat sahabatnya
bersedih. Mereka sangat menyayangimu. Mereka diam bukan berarti tidak
peduli. Mereka menunggumu mau bercerita. Temuilah mereka. Ceritakanlah
masalahmu. Kalau pun mereka tidak bisa membantumu, setidaknya itu bisa
mengurangi sakit hatimu.”
Diam.
“Layaknya gelas yang terisi
air. Jika kau akan menuangkan kembali air ke dalam gelas itu lagi, tapi
kau tak mengurangi isinya terlebih dahulu. Air tersebut akan tumpah.
Begitu juga dengan hatimu. Setidaknya, hatimu akan jauh lebih lega jika
kamu berbagi dengan mereka. Cobalah.” Lanjut Yong Hwa.
Aku tersenyum. Benar kata Yong Hwa. Setidaknya aku harus membiarkan mereka tahu masalah yang sedang aku hadapi.
“Setiap orang pasti mempunyai masalahnya masing-masing Seo Hyun-ah.
Tidak hanya kau. Mungkin saja menurutmu, kamu memiliki masalah yang
begitu rumit. Lalu, siapa namanya, Yoon Ah. Dia terlihat baik-baik saja
dengan pacarnya, namun siapa yang tahu. Bukankah kau bilang Yoon Ah
orangnya mandiri? Mungkin saja Yoon Ah sepertimu, enggan menceritakan
masalahnya kepada kalian. Atau Shin Hye, dia terlihat baik-baik saja di
luar. Tapi kau mengatakan neneknya baru-baru ini meninggal dunia. Aku
rasa Shin Hye tidak baik-baik saja, dia hanya mencoba bersikap kalau dia
baik-baik saja. Dan So Hee. Aku rasa kau jauh lebih mengenalnya. Dia
berkali-kali diputus oleh beberapa namja. Bagimu itu belum seberapa
dibanding yang kau alami, tapi bagi So Hee. Bisa di katakan, dia sama
menderitanya seperti kamu. Tuhan mempunyai caranya sendiri untuk menguji
kaumnya. Dan inilah ujianmu. Hadapilah. Semua pasti akan terlewati. Dan
menjadikanmu lebih dewasa.” Yong Hwa menepuk pundakku pelan.
“Kau benar Yong Hwa-ya. Gomawo. Aku akan segera menemui mereka.” Kataku bersemangat.
Note FB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar