Jumat, 29 November 2013

[FanFiction] Catch My Breath (YongSeo Couple)

Author             : Chiaki Minata
Title                : Catch My Breath
Main Cast        : Seo Joo Hyun (Seo Hyun SNSD)
                         Jung Yong Hwa (Yong Hwa CN Blue)
Genre              : Friendship, Romance, Hurt
Length             : Oneshoot
Akun twitter    : @aimyeong or @fisshy8
Disclaimer       : This fanfiction is original story of mine. The cast belongs to themselves. So, don’t bash me.

WARNING!!!
FF ini pernah aku ikutin lomba di 2 page yg berbeda..
Jadi jika ada di antara Readers yg pernah membaca, ni FF asli bikinanku..
jangan menuduh aku plagiat ne..
gomapta ^^


~~~ Story Begin ~~~

Sepi tak berarti sendiri, dan dalam kesendirian seringkali kau merasa sepi.

Semilir angin berhembus menerpa kulit wajahku. Tak kuhiraukan terpaannya yang merusak tatanan rambutku. Aku terus melangkah, sedikit berlari mengejar waktu. Terus kulirik benda digital di pergelangan tangan kiriku. Terpampang jelas angka 08.15 yang menandakan kalau aku terlambat masuk kuliah.
“Seo Hyun-ah!”
Ku alihkan segera fokus penglihatanku ke segala arah. Mencari sumber suara yang memanggil namaku. Tak jauh di depanku, berdiri seorang yeoja berambut panjang yang tengah melambai.
Seo Hyun. Seo Joo Hyun. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Aku anak kedua dari tiga bersaudara, seorang oppa bernama Seo In Guk dan yeodongsaeng bernama Seo Yu Na. Keluarga yang dulu sangat bahagia, namun kini tinggal sebuah kenangan di memory otakku.
“Yak! Kau melamun, eoh?”
“Aniya, Yoon Ah-ya. Kajja kita segera masuk, aku mendapat pesan singkat dari Shin Hye kalau Lee Sonsaengnim sedang dalam suasana hati yang tidak baik.”
“Jeongmalyo? Aish, kita pasti akan mendapat ceramah pagi, Seo Hyun-ah.”
Aku hanya terkikik geli melihat ekspresi kesal di wajah Yoon Ah. Im Yoon Ah merupakan teman kuliahku di Konkuk University. Satu di antara 3 sahabat yang kumiliki hingga saat ini.
Im Yoon Ah sosok yang selalu ceria, pintar menyembunyikan masalahnya, dan terkadang suka memimpin. Park Shin Hye, dia yang paling muda di antara kami tapi pemikirannya yang paling dewasa dan selalu menjadi sandaran keluh kesah kami. Terakhir ialah Ahn So Hee, yeoja pemalu namun pintar dan selalu berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu.
Di depan mereka bertiga aku bisa sedikit melupakan masalahku. Masalah keluarga yang sangat menyebalkan, menurutku. Selain itu, masalah dengan salah satu mantan namjachingu. Rasanya aku ingin menyerah pada hidup ini. Sungguh melelahkan dan membosankan menjalani keseharian seperti ini.
“Pulang kuliah kita ke tempat biasa kan?” Tanya So Hee.
“Tentu. Aku dan Yoon Ah sudah sangat kelaparan. Kau ikut kami kan Seo Hyun-ah?”
“Mianhae, aku sedikit lelah hari ini. Aku ingin langsung pulang ke rumah saja.” Ujarku sedikit berbohong. “Kalian bersenang-senanglah tanpaku. Bye.” Lanjutku sambil berlalu dari hadapan mereka.
Aku iri dengan mereka. Mereka tidak menghadapi masalah serumit diriku. Keluarga mereka masih lengkap. Mereka memiliki orang-orang yang tulus menyayanginya. Sedangkan keluargaku nyaris berantakan, ayah dan ibuku akan segera bercerai. Tak mempedulikan perasaanku. Aku iri dengan si kecil Yu Na yang belum mengerti permasalahan di keluarga kami. Dan dia masih mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuaku. Terutama ayahku.

Dulu aku sangat mengagumi sosok ayahku. Sebelum Yu Na lahir, akulah yang paling disayang oleh ayahku. Appa selalu menuruti semua keinginanku. Eomma juga tak pernah tak mengabulkan permintaanku. Tak terkecuali kakakku, In Guk.
Kamar ini saksi bisu keluh kesahku, tumpahan air mata yang hampir tiap malam aku teteskan. Tekanan batin yang aku terima dari keadaan keluarga semakin menambah rumit kinerja otakku. Masalah dengan Kyu Hyun, mantan kekasihku belum sepenuhnya selesai. Pemutusan sepihak dan perselingkuhan yang dilakukannya seolah jadi tikaman di ulu hatiku. Bekas luka yang masih menganga di siram dengan air garam saat mengetahui fakta bahwa hubungan In Guk oppa dengan tunangannya nyaris kandas karena keadaan keluargaku.
Orang-orang dewasa itu sungguh egois. Disini aku sendirian menanggung kepedihan hidup. Di pihak lain, mereka hanya memikirkan kesenangan pribadi. Lalu apa gunanya lagi aku di dunia ini. Semua terasa hambar, hampa, sepi dan meletihkan.
“Seo Hyun-ah, kau sudah pulang Nak. Ayo makan bersama, kakak dan adikmu sudah menunggumu di meja makan.”
“Ne, eomma. Tunggu sebentar, aku akan ganti baju terlebih dahulu.”
Setelah berganti dengan pakaian casual yang lebih nyaman, aku segera menuju ruang makan. Mataku memanas melihat sosoknya. Aku hendak berbalik ke kamarku, namun sebuah teguran menghentikan langkahku.
“Seo Hyun-ah, duduklah di sebelah Oppa.” Dengan langkah gontai aku menghampiri bangku kosong di sebelah kakakku.
Hening. Tak ada yang berani membuka percakapan. Aku pun masih enggan menjawab pertanyaan laki-laki yang duduk di ujung meja ini. Laki-laki yang dulunya aku panggil Appa. Entah masih pantaskah aku memanggilnya dengan sebutan itu.
“Bagaimana kuliahmu Seo Hyun-ah?”
Buruk.” Jawabku dalam hati. Buat apa pula kau menanyakan hal semacam itu. Apa pedulimu?
“Apakah harimu menyenangkan?” Lanjutnya.
Diam.
“Eomma sudah memasakkan makanan kesukaan kalian. Kajja, kita makan. Kalau sudah dingin nanti tidak enak.” Oh Tuhan, mengapa ibuku sebaik ini? Dia selalu berusaha mencairkan suasana yang memanas saat ada Appa di rumah. Terbuat dari apakah hatinya? Mianhae Eomma, aku selalu merepotkanmu dengan sifat kekanak-kanakanku.
Aku merasakan kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhku. Kutundukkan kepala, terlihat tangan kekar In Guk oppa menggenggam tanganku lembut. Kutatap wajahnya, terlihat matanya seolah mengatakan, “Bersabarlah. Semua akan baik-baik saja.” Bibirku otomatis membentuk lengkungan ke atas, sebuah senyuman paksa.
Makan malam berjalan dengan canda tawa (yang menurutku berisik) oleh ocehan-ocehan dari bibir Yu Na. Rengekan khas anak kecil yang meminta mainan dari Appa. Eomma sesekali menanggapi dan membujuk Yu Na untuk bersikap tenang. In Guk oppa lebih bisa menguasai keadaan, setidaknya dia sanggup berpura-pura tersenyum dan tertawa melihat tingkah Yu Na. Jangan tanya bagaimana sikapku, aku hanya diam sambil terus menyantap hidangan yang tersaji dihadapanku. Aku sama sekali tak mempedulikan orang-orang disekelilingku.
“Aku sudah selesai makan. Aku akan ke kamar dahulu, banyak tugas dari kampus.”
“Eoh, kau tak mau ikut berbincang bersama kami Seo Hyun-ah?”
Huh. Aku mendengus kesal mendengar kalimat yang baru saja diucapkannya. Apakah dia buta? Tidak bisakah dia melihat ketidaksukaanku terhadap kehadirannya disini?
“Sudahlah Appa, mungkin Seo Hyun lelah.” Ujar In Guk oppa membela.
Kembali aku langkahkan kakiku menuju kamarku yang terletak di lantai dua. Sampai akhirnya sebuah kalimat yang tertangkap indera pendengaranku menghentikanku.
“Siapa yang mengajarimu bersikap tidak sopan seperti itu Seo Hyun-ah?”
Kubalikkan tubuhku menghadap Appa (jika masih boleh aku memanggilnya demikian). Kutatap tajam ke manik matanya. Memperlihatkan amarah yang telah aku tahan dari tadi. Aku hendak melancarkan semua kata-kata pedas yang terkunci di mulutku, namun sebuah kejadian tak terduga terjadi begitu cepat.
PLAK.
“Kau. Masih bisa kau menanyakan pertanyaan seperti itu? Apa kau tidak mengaca? Apa kau sedang mabuk? In Guk-ah, bawa adik-adikmu ke kamar.”
In Guk oppa langsung menggendong Yu Na dan menghampiriku dengan raut khawatir. Dia menggandeng lembut tanganku, lalu mengajak ke kamar Yu Na yang terletak di lantai dua. Tepat di sebelah kamarku. Yu Na sesenggukan di pelukan kakakku. Mungkin dia terkejut dengan pertengkaran yang berlangsung tadi.
“Uljimma, tenanglah Yu Na-ya. Gwaenchana.” Kataku berusaha menenangkannya. Padahal suasana hatiku sendiri jauh dari kata baik. Mataku mulai memanas.
TES.
Setetes buliran bening mengalir di pipiku dengan mulus. In Guk oppa meraihku ke dalam dekapannya. Menyalurkan kekuatan untukku. Bibirnya terlihat bergetar, aku tahu dia pun menahan amarah. Selalu seperti ini, jika lelaki itu muncul ke rumah. Akhirnya akan terjadi pertengkaran. Ini sudah ke sekian kalinya, biasanya Yu Na sudah tertidur. Tapi kali ini, dia menyaksikan sendiri kedua orang yang disayanginya saling berteriak. Jiwanya pasti terguncang, adikku yang malang.


~~~ 0 o 0 ~~~

 Kesendirian adalah kejujuran terhadap diri sendiri.

“Seo Hyun-ah, gwaenchanayo?”
“Ne?”
“Kau terlihat pucat Seo Hyun-ah. Apa kau sakit?” Kata Shin Hye menimpali ucapan So Hee. Bahkan Yoon Ah menatapku curiga.
“Aku baik-baik saja. Jangan menatapku seperti itu. Kalian seolah ingin menerkamku layaknya melihat daging sapi panggang. Aish.” Aku tertawa menanggapi perkataanku sendiri. Kulirik So Hee sekilas, dia menatap iba ke arahku. Kuperlihatkan senyum terbaik agar dia tak khawatir berlebihan. Dia mendesah pelan, lalu ikut tersenyum melihatku.
Sebenarnya aku belum siap jika harus menceritakan pada orang lain. Namun, entah bagaimana So Hee bisa mengetahuinya. Mungkin In Guk oppa yang mengatakan pada So Hee. In Guk oppa akhir-akhir ini sering menjemputku ke kampus. Dan sembari menunggu jam kuliahku selesai, biasanya So Hee menemaninya berbincang di taman kampus.
Aku belum menceritakan kepada kalian jika kami berempat berbeda jurusan. Aku berada di jurusan Film & Art. So Hee dan Shin Hye di jurusan Art Culture. Sedangkan Yoon Ah di jurusan Image & Film. Memang dari kecil cita-citaku menjadi seorang sutradara. Kuliah disini merupakan batu loncatan untuk menggapainya.
“Ommo, aku terlambat. Mianhae, aku ada janji dengan teman satu jurusan akan mengerjakan tugas bersama. Aku duluan, ne? Sampai ketemu besok.” Aku melakukannya lagi. Menghindar. Agar mereka tak mengetahui permasalahan yang aku hadapi.
“Aish, kenapa akhir-akhir ini kau sibuk sekali Seo Hyun-ah? Kau bahkan jarang kumpul bersama kami lagi? Apa ada yang kau sembunyikan?” Tegas Yoon Ah.
“Aniya, aku memang sedang banyak tugas. Mian.” Aku berdiri dan melangkah pergi dari Boice Kafe, tempat favorit kami saat berkumpul. Tak kupedulikan lagi gerutuan yang dilontarkan mulut Yoon Ah maupun Shin Hye.
“Hati-hati, Seo Hyun-ah.” Teriak So Hee.
Sebenarnya aku tidak memiliki janji dengan siapa pun. Bahkan aku tidak terlalu dekat dengan teman satu jurusan. Kebohongan yang bodoh. Aku sadar, Yoon Ah dan Shin Hye pasti mengetahui tingkah konyolku ini. Mereka berdua sangat sensitif dengan lingkungan sekitar, mudah beradaptasi dan peka terhadap teman.
Tanpa kusadari langkahku terhenti di depan ruang multimedia. Ragu-ragu aku memasuki ruangan di hadapanku ini. Gelap. Tak ada orang. Sangat wajar karena ruangan ini tidak sedang dipakai untuk perkuliahan. Aku menuju ke ruang proyektor.
Inilah kebiasaan yang akhir-akhir ini aku lakukan. Menyendiri sambil memutar beberapa film. Film yang bertemakan keluarga. Bukan keluarga yang hancur seperti yang aku punya. Tapi keluarga yang bahagia. Seperti keluargaku dahulu, sebelum wanita itu datang mengusik kehidupan kami. Seorang wanita yang menggantikan posisi Eomma di hati Appa.
   Tiga puluh menit yang lalu, saat masih bersama mereka. Aku masih sanggup tertawa dan bercanda menanggapi gurauan Shin Hye. Sekarang, keheningan yang menyergapku menampilkan sifat asliku. Diriku yang kesepian, terluka, dan tersakiti.
Aku bisa tertawa melihat adegan lucu yang ditampilkan di layar. Aku juga ikut menangis menyaksikan tokoh utama bersedih. Aku benar-benat terbuai dengan suasana yang disampaikan oleh sang sutradara.
Aku sungguh merindukan masa kecilku yang bahagia. Kini, tak lagi kurasakan belaian kasih sayang dari Eomma. Beliau bahkan jauh menderita dibandingkan diriku. Nappeun Appa, aku membencimu.


~~~ 0 o 0 ~~~

Tanpa kau sadari, kesendirianmu menghanyutkanku.               

Akankah gadis itu disana lagi?” Ucapku dalam hati.
“Yong Hwa-ya, wae geurae?”
“Ne? Ani, aku hanya sedang memikirkan sesuatu. Mianhae, aku duluan ne. Ada hal yang harus aku urus.”
“Yak, Yong Hwa-ya. Tugas kita belum selesai. Eodiga? Yak, Yong Hwa-ya.”
Teriakan dari teman satu kelompokku tak aku hiraukan. Di memori otakku hanya mengingat gadis itu. Seo Joo Hyun. Gadis angkuh teman satu jurusanku. Dia mungkin tidak mengenalku, tapi aku sangat mengenalnya. Gadis cantik idola semua namja di Jurusan Film & Image. Di kelas saat mengikuti perkuliahan dia sangat pendiam dan tertutup. Hanya akan membuka mulut jika benar-benar ada hal penting. Namun dia menjadi sosok yang periang saat bersama tiga orang sahabatnya.
Bagaimana aku bisa begitu mengenalnya? Aku menjadi stalker seorang Seo Joo Hyun. Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah kenyataannya. Awalnya aku tidak tertarik ke dalam kehidupannya. Bahkan dia bukan seorang artis, lalu mengapa aku harus menguntitnya? Senyumnya. Itulah alasanku melakukan semua tindakan ini.
Suatu hari buku kuliahku tertinggal di ruangan multimedia. Karena ada tugas untuk hari besok, aku memutuskan untuk mengambilnya meskipun hari sudah malam. Tanpa aku sangka, ruangan yang biasanya gelap dan sepi itu kali ini terlihat remang dan terdengar suara orang yang bercakap-cakap. Pelan-pelan aku masuk, berusaha agar tidak menimbulkan suara. Di tengah ruangan, kulihat seorang yeoja sedang menatap layar dengan penuh keseriusan. Aku tersenyum melihatnya. Diam-diam aku duduk di pojok ruangan, jauh dari jangkauan yeoja itu. Berharap yeoja itu tidak menemukanku. Begitulah awal mula aku mulai tertarik pada sosoknya. Mungkin aku pun terlanjur menyukainya.
Selama ini yang aku tahu, Seo Hyun sosok yang pendiam. Tapi tidak pemurung seperti sekarang. Duduk diam memandang khidmat film keluarga yang muncul di layar proyektor. Selalu film yang bertemakan keluarga.
Dari awal kuliah dia selalu memiliki nilai yang sempurna. Namun akhir semester kemarin, tiba-tiba nilainya jatuh. Bahkan biasanya dia menduduki peringkat lima terbaik, kali ini dia bahkan tak masuk sepuluh besar. Mungkinkah ini alasannya? Apakah ada pengaruh dari keluarganya?
Seperti biasanya, aku bersembunyi di pojok ruangan. Menjaga jarak agar Seo Hyun tidak mengetahui keberadaanku. “Belum, aku rasa ini belum saatnya menunjukkan diriku di hadapanmu. Seo Joo Hyun.” Kataku lirih.
Jemari tangan Seo Hyun mengusap wajahnya dengan lemah. Aku rasa dia menangis, seperti biasanya. Meskipun tak terdengar isakannya, tapi aura yang terpancar dari diri Seo Hyun menunjukkannya. Kadang aku berpikir, kenapa Seo Hyun begitu suka menyendiri? Padahal dia jauh terlihat cantik saat tersenyum bersama sahabatnya. Entahlah. Namun tetap saja, meskipun wajahnya terlihat sendu, dia tetap membuatku terpukau. Terpesona akan elok parasnya. Terhipnotis oleh tingkah lakunya dan kepribadiannya. Semua membuatku penasaran akan sosok yeoja bermarga Seo tersebut.


~~~ 0 o 0 ~~~

Saat aku sendiri dalam duniaku, kau hadir membawa mimpi.

Kuliah Kim Sonsaengnim sore ini berlangsung singkat. Beliau mengatakan ada urusan penting. Dalam hati aku bersorak riang, karena itu artinya aku tidak perlu berlama-lama mendengarkan ceramahnya. Percuma saja aku mendengarkan, pikiranku sedang tak berada disini. Sejak mendapat kabar tadi malam aku susah memfokuskan konsentrasi. Kabar yang sangat menohok kestabilan emosiku.
Aku putuskan untuk menuju taman kampus, sekadar melepas penat. Saat ini aku hanya ingin sendiri. Sudah beberapa hari aku tidak berkumpul bersama mereka. Shin Hye dan So Hee sedang sibuk dengan proyek tugas kuliahnya. Yoon Ah sedang ada masalah dengan namjachingunya. Aku merasa tak enak hati jika harus menambah beban pikiran mereka. Dan itu membuatku semakin merasa sendiri. Tak memiliki tempat berbagi.
“Anneyong.” Suara seorang namja menyadarkan lamunanku. Kutengadahkan wajah, mencoba menatap sang pemilik suara.
“Em, aku rasa ini milikmu. Tadi kulihat jatuh di bawah kursi tempatmu duduk.” Kuturunkan arah pandangan ke tangannya yang terulur padaku. Sebuah buku bersampul merah jambu.
“Buku harianku. Astaga. Bagaimana bisa aku seceroboh ini?” Rutukku dalam hati. “Kamsahamnida …” Ucapku terputus.
“Yong Hwa. Jung Yong Hwa. Kita satu jurusan.”
“Mianhaeyo.”
“Gwaenchanayo. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita memang belum pernah berkenalan secara resmi.” Kutatap tak percaya namja dihadapanku ini. Baru kali ini ada seseorang yang bisa berkata santai. Biasanya mereka akan langsung mencemoohku atau mengatakan aku gadis yang sombong karena tak mengenal temannya sendiri.
“Bangapseumnida.” Akhirnya mulutku mau bersuara juga. Entah mengapa perkataannya tadi mampu membuatku merasa gugup.
“Bukankah kita seumuran. Aku rasa tidak perlu seformal itu Seo Hyun-ah. Boleh aku memanggilmu seperti itu? Nado, bangapta.” Ujarnya panjang lebar lalu tersenyum renyah. Tanpa aku sadari, aku pun ikut tersenyum melihatnya. Lalu kusambut jabat tangannya. Hangat. Itulah yang aku rasakan dari sentuhan tangannya.
Namja ini memiliki rasa humor yang tinggi. Mengingatkanku pada Shin Hye. Si penyegar suasana saat kami berkumpul. Yong Hwa mampu membuatku tertawa lepas. Namja ini layak aku acungi jempol. Belum ada sehari kami berkenalan, dia secara lugas berbicara non formal denganku. Bukannya aku tidak menyukainya, akan tetapi ini hal baru menurutku.
“Yong Hwa-ssi, apakah tadi kau… Em… bagaimana mengatakannya? Apakah kau…”
“Ani. Aku tidak melihatnya. Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau ingin menanyakan apa aku membuka bukumu, kan? Jangan khawatir, aku tidak melakukannya.”
“Syukurlah. Mianhae.”
“Aish, kau ini. Mengapa suka sekali mengatakan kata maaf? Kau tidak sedang melakukan suatu kejahatan. Jadi kau tak perlu mengatakan maaf. Arraseo?”
Aku anggukan kepalaku tanda mengerti. Setiap kata yang dia ucapkan begitu penuh penekanan. Apakah dia kesal padaku? Tapi mengapa? Mollayo.

~~~~~

Sudah satu bulan aku mengawasimu Seo Hyun. Aku tak sanggup lagi menahan diri. Aku tak sanggup lagi terus-terusan melihatmu sedih dan sendiri. Mungkin Tuhan mendengar doaku. Tanpa sengaja sore ini kau menjatuhkan bukumu di ruang perkuliahan. Sengaja aku biarkan kau keluar, aku hanya mencari tempat yang nyaman untuk memperlihatkan diriku.
“Anneyong.” Kuberanikan diri untuk sekadar menyapamu. Aku harap suaraku tidak bergetar, sehingga kau tak mengetahui betapa gugupnya diriku. Kau tengadahkan wajahmu melihatku. Jantungku seakan ingin melompat dari tempatnya saat manik matamu menatap tepat ke mataku. Sorot mata yang menunjukkan kebingungan.
“Em, aku rasa ini milikmu. Tadi kulihat jatuh di bawah kursi tempatmu duduk.” Kau terlihat terkejut. Hati-hati kau menerima buku dari tanganku.
“Kamsahamnida…”
“Yong Hwa. Jung Yong Hwa. Kita satu jurusan.” Yah, sudah aku duga kau pasti tidak mengetahui namaku. Aku tidak heran, karena memang selama ini kau jarang bergaul dengan kami, teman satu jurusanmu.
“Mianhaeyo.”
“Gwaenchanayo. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita memang belum pernah berkenalan secara resmi.” Kali ini kau menatapku dengan kagum. Kuusap tengkukku canggung. Yeoja ini benar-benar membuat duniaku jungkir balik. Aku semakin gemas melihatnya.
“Bangapseumnida.”
“Bukankah kita seumuran. Aku rasa tidak perlu seformal itu Seo Hyun-ah. Boleh aku memanggilmu seperti itu? Nado, bangapta.” Kujelaskan panjang lebar, berusaha menghilangkan suasana kikuk yang ada. Terulur tangan kananku, berharap semoga Seo Hyun mau menyambutnya. Aku hampir bersorak senang karena ternyata dia mau menerima ajakanku.
Lama aku berbincang dengan Seo Hyun. Ternyata gadis ini tidak sepenuhnya pendiam seperti yang aku kira. Apakah masalah yang kau hadapi begitu pelik hingga kau menutup diri Seo Hyun-ah?
“Yong Hwa-ssi, apakah tadi kau… Em… bagaimana mengatakannya? Apakah kau…” Tiba-tiba saja Seo Hyun Nampak bingung hendak mengatakan sesuatu. Aku menangkap maksud dari perkataannya.
“Ani. Aku tidak melihatnya. Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau ingin menanyakan apa aku membuka bukumu, kan? Jangan khawatir, aku tidak melakukannya.” Karena tanpa membukanya aku sudah cukup tahu apa yang menimpamu, Seo Hyun-ah. Lanjutku dalam hati.
“Syukurlah. Mianhae.”
“Aish, kau ini. Mengapa suka sekali mengatakan kata maaf? Kau tidak sedang melakukan suatu kejahatan. Jadi kau tak perlu mengatakan maaf. Arraseo?” Aku berkata tegas. Sedikit kesal karena dia sering sekali meminta maaf. Padahal ini bukan sesuatu kesalahan yang harus di pertanggungjawabkan. Gadis ini benar-benar kelewat polos.

~~~ 0 o 0 ~~~

Hampir dua bulan aku tak ikut berkumpul dengan tiga sahabatku. Kesibukan kuliah dan masalah kedua orangtuaku membuatku sedikit mengasingkan diri. Hanya Yong Hwa yang masih setia mendampingiku. Karena kami satu jurusan, presentase untuk bertemu jauh lebih besar dibandingkan sahabatku yang berbeda jurusan.
Siang ini di waktu senggangku, aku memutuskan untuk ikut berkumpul bersama mereka. Tak kupungkiri, aku pun merindukan sosok mereka. Bagaiman pun juga, merekalah penyemangatku selama ini. Dan disinilah aku, Boice Café, tempat kami biasa berkumpul. Aku langkahkan kakiku menuju meja yang biasa kami gunakan untuk menghabiskan waktu bersama. Disana sudah mereka bertiga sudah berkumpul. Aku lihat Yoon Ah melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya dan sedikit mempercepat langkah.
“Seo Hyun-ah, neomu boghosipposeo.”
“Nado, So Hee-ya. Bagaimana kabar kalian?”
“Kurang baik. Kami begitu merindukanmu.” Ucap Shin Hye tegas.
“Mianhae, akhir-akhir ini aku cukup sibuk.”
“Yeoja pabo, kau anggap apa kami selama ini? Kau ada masalah tapi tak pernah mau menceritakan masalahmu pada kami. Apa itu namanya sahabat, huh?” Ketus Yoon Ah.
Kulirik ke arah So Hee, sorot matanya seolah berkata, “Maafkan aku. Aku sudah menceritakan semuanya pada mereka. Aku hanya tak ingin melihatmu bersedih lagi.”
Aku mendesah pelan. Lalu kutampilkan senyum terbaikku. “Nan jeongmal gwaenchana. Dan aku… aku… karena aku hanya…” Aku tak mampu meneruskan kata-kataku. So Hee langsung membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menangis dalam diam. Tak kuhiraukan tatapan pengunjung Café lainnya. Saat ini, aku hanya ingin menangis dan menumpahkan segala beban pikiranku.
Kurasakan belaian lembut di punggung dan pucuk kepalaku. Aku sangat yakin bahwa Yoon Ah dan Shin Hye yang melakukannya. Meskipun kata-kata mereka tajam, tapi aku menyadari bahwa mereka sangat menyayangiku.

Mungkin sebaiknya aku tak mengetahui apa yg sebenarnya terjadi. Jika kenyataan itu hanya akan menyakitiku. Kini, berpura-pura pun percuma. Semua sudah terungkap. Eottohkaji?

Aku pun menceritakan semua masalah yang menimpaku. Bagian di mana aku dan Kyu Hyun mengakhiri hubungan, mereka sudah tahu pasti. Tapi alasanannya karena apa, mereka belum mengetahuinya.
“Kyu Hyun, dia selingkuh dengan Victoria. Victoria Song. Gadis yang dikenalkan pada kita sebagai temannya. Gadis yang selalu membantuku saat menghadapi masalah dengan Kyu Hyun. Dia… dia…”
“Kau tidak perlu melanjutkan perkataanmu Seo Hyun-ah. Kami tahu apa maksudmu. Bersabarlah. Namja itu kelak akan mendapatkan balasan yang setimpal.” Kata Yoon Ah. Kulihat air muka Yoon Ah pun dipenuhi amarah.
“Selang satu minggu, aku mendapat kabar bahwa Appa dan Eomma akan bercerai. Sudah lama hubungan mereka renggang. Mereka juga sering bertengkar. Tapi aku tak menyangka jika hubungan kedua orang tuaku sampai separah itu, bahkan harus di akhiri secara hukum. Dan suatu hari Eomma mengatakan padaku jika tak bisa lagi bersama Appa. Karena Appa mempunyai wanita lain. Appa… Lelaki itu melakukan hal yang sama seperti Kyu Hyun. Aku…”
Kali ini aku berhambur ke pelukan Shin Hye. Aku tak sanggup lagi jika harus meneruskan perkataanku. Hatiku benar-benar terluka. Tapi ada kelegaan tersendiri saat bisa mencurahkan isi hatiku pada mereka.
“Kalau kamu tak sanggup lagi bercerita. Cukup Seo Hyun-ah. Masih ada hari esok, kami selalu ada untukmu. Kapanpun kau membutuhkan kami.”
“Gomawo So Hee-ya. Gomawo. Kalian benar-benar sahabat terbaikku. Jujur aku iri dengan kalian. Kalian masih memiliki keluarga yang lengkap. Sedangkan aku, ah, sudahlah.” Aku tersenyum miris mengingat nasibku. Setelah cukup tenang, aku kembali melanjutkan ceritaku. Masalah yang di alami     oleh In Guk oppa dan tunangannya.
“Seo Hyun-ah, oppamu dia baik-baik saja. Hubungan mereka sekarang juga jauh lebih baik. Dua bulan lagi, mereka akan menikah. Kau tak perlu lagi mengkhawatirkan oppamu.” Aku terkejut mendengar penuturan So Hee. Bagaimana bisa aku tak mengetahui kabar kakakku sendiri? Apa aku semurung itu meratapi nasib?
In Guk oppa, mianhae. Aku telah menambah beban pikiranmu. Aku menjadi dongsaeng yang buruk bagimu.” Keluhku dalam hati.
“Seo Hyun-ah. Kudengar kau sedang dekat dengan namja satu jurusanmu. Apa kalian berpacaran?”
“Mwo? Aniya, kami hanya berteman saja. Dia banyak membantuku akhir-akhir ini. Apalagi saat kalian sibuk. Aku sangat tertolong dengan kehadiran dia. Yak, dari mana kau mendengar gosip murahan itu Yoon Ah-ya?”
“Gosip murahan katamu? Bahkan berita ini sudah sangat menyebar di kampus. ‘Yeoja marga Seo yang berhati dingin dan sombong takluk pada anak keluarga Jung’ seperti ini yang kau bilang gosip murahan? Aku sendiri tidak yakin berita itu benar. Tapi melihat semburat merah di wajahmu itu, menurutku…”
“Yak, jangan menggodaku Park Shin Hye. Jeongmalyo, aku dan Yong Hwa hanya berteman. Tidak lebih.”
“Oh, namanya Yong Hwa.” Ujar So Hee kalem. Hal ini justru membuatku semakin geregetan. Kucubit lengan kanannya.
“Aww. Yak, Seo Hyun-ah, mengapa kau menyubitku?”
Kujulurkan lidahku ke arah So Hee. Siapa suruh ikut-ikutan menggodaku. Namun ada desiran halus saat aku mengucapkan nama Yong Hwa. Mungkinkah benar kata mereka, jika ada apa-apa di antara kami. Tidak, maksudku, apakah mungkin aku mulai menyukainya? Keundae, aku takut perasaanku ini hanya sepihak. Aku belum siap untuk kembali terluka.


~~~ 0 o 0 ~~~

Kau yang tiba-tiba datang di kesendirianku. Aku mulai merindukan sosokmu yang membawaku pergi dari jurang sepi.

Dua hari ini Yong Hwa tidak masuk kuliah. Ijin yang tertulis dia sakit. Apakah sakitnya parah? Mengapa sampai dua hari dia tak berangkat? Tanpa dirinya, aku kembali merasakan kesepian. Tunggu dulu, apa aku merindukannya? Sepertinya aku benat-benar jatuh ke dalam pesona lelaki bermarga Jung tersebut.
Berbekal sebuah alamat dari salah seorang teman satu jurusanku. Aku memutuskan untuk menengok Yong Hwa. Teman-temanku sudah menjenguknya tadi siang. Mereka tidak mengajakku karena aku sedang ada rapat organisasi.
Ternyata Yong Hwa anak seorang konglomerat. Dia tinggal di area Gangnam, salah satu kawasan elit di kota ini. Kuberanikan diri melangkah ke pintu utama di antarkan security. Sampai di ruang tamu, seorang ahjumma menemuiku. Dia mengajakku menuju kamar Yong Hwa berada. Bermodalkan sebuket bunga dan parcel buah, aku berjalan hati-hati di belakang seorang ahjumma. Aku rasa ahjumma ini merupakan salah satu pelayan di keluarga Song.
“Silahkan masuk nona. Tuan muda sudah menunggu.”
“Kamsahamnida ahjumma.”
Pelan-pelan aku buka pintu kamar Yong Hwa. Aku menjulurkan kepala menengok ke dalam kamar untuk mencari keberadaannya. Kutemukan dia tengah duduk santai di atas kasur king zise sembari tersenyum melihatku.
“Masuklah. Jangan hanya mengintip seperti itu.”
Aku tertawa malu mendengar perkataannya. Yong Hwa sangat mengenal sifatku. Secara perlahan aku menuju bangku di sebelah tempat tidurnya, meletakkan tas. Setelah itu kuletakkan parcel di atas nakas, dan mengganti bunga yang berada di vas dengan bunga yang aku bawa.
“Tidak apa-apa jika aku mengganti bunganya?” Yong Hwa mengangguk lemah, tetap menampilkan senyum andalannya. Aku segera duduk di sebelahnya.
“Kau sakit apa Yong Hwa-ya?”
“Hanya typus. Aku sedikit kelelahan dan terlambat makan. See,” Ujarnya lembut. “Waeyo? Kau mengkhawatirkanku?” Godanya.
“Apa terlihat sekali?”
“Aku akan cepat sembuh jika itu kebenarannya.”
Hening. Aku masih diam mencerna kata-kata yang baru saja terucap darinya.
“Apa sikapku selama ini masih belum kau pahami? Kau sungguh polos Seo Hyun-ah.” Dia mendesah frustasi. Apa yang belum aku pahami? Apakah dia…
“Ne, aku menyukaimu Seo Hyun-ah. Dari awal pertemuan kita. Bahkan jauh sebelum itu. Aku sudah jatuh cinta akan pesonamu. Wajah sendumu saat sendirian melihat film di ruang multimedia. Senyum dan tawamu saat bersama sahabat-sahabatmu. Sikap cuekmu di ruang perkuliahan. Semuanya. Aku mengamatimu. Selalu. Dan kau masih belum menyadarinya?”
“Aku…”
“Aku tak akan memaksamu untuk menjadi kekasihku Seo Hyun-ah. Aku hanya akan menunggu. Bisakah kau beri kesempatan padaku. Aku berjanji tidak akan seperti mantan kekasihmu, atau juga Appamu. Kau, selalu akan menjadi yang pertama dan wanita satu-satunya di hatiku. Percayalah padaku.”
Yong Hwa menggenggam lembut jemari tanganku. Kehangatan yang dulu aku rasakan saat pertama kali bertemu dengannya, kembali menjalar ke seluruh tubuhku.
Apakah kali ini aku harus mempercayainya. Logikaku masih sulit menerima, akan tetapi hatiku mengatakan bahwa apa yang dia ucapkan sungguh-sungguh. Untuk saat ini, aku ingin mengikuti nuraniku. Semoga aku mengambil keuputusan yang benar.
“Aku merindukanmu Yong Hwa-ya. Aku membutuhkanmu. Aku merasa sepi saat kau tak disampingku. Aku… aku mohon, bantu aku untuk tak lagi membenci kaum namja.”
Yong Hwa menarikku ke dalam pelukannya. Nyaman. Itulah kata yang dapat menggambarkan suasana hatiku saat ini. Dibelai mesra rambutku. Aku semakin menenggelamkan kepalaku di dada bidangnya.
“Tentu. Aku akan membantumu menghilangkan trauma itu. Aku akan selalu bersamamu. Saranghae.
Aku tak menjawab ungkapan cinta dari Yong Hwa. Biarlah waktu yang memutuskan. Aku masih butuh sedikit lebih lama untuk memahami isi hatiku. Aku tak ingin menyakiti namja sebaik Yong Hwa. Kelak saat aku sudah yakin dengan nuraniku. Aku akan menjawabnya. Dan aku harap, dia sanggup bersabar hingga saat itu tiba.

~~~ END ~~~


Kisah yang terlewatkan

“Seo Hyun-ah, boleh aku bertanya sesuatu.”
“Tentu.”
“Akhir-akhir ini aku jarang melihatmu bersama sahabat-sahabatmu. Apa kau sedang ada masalah dengan mereka?
“Ani. Aku hanya ingin sendiri. Tak ingin merepotkan orang lain.”
“Tapi, sahabatmu pasti tidak berpikir seperti itu Seo Hyun-ah.”
“Maksud kamu?”
“Kau mengatakan kalau So Hee mengetahui permasalahan di keluargamu. Cepat atau lambat, So Hee pasti akan bercerita pada dua sahabatmu yang lain. Coba kau bayangkan bagaimana perasaan mereka? Mereka pasti sangat mencemaskanmu. Tak ada seorang sahabat yang tega melihat sahabatnya bersedih. Mereka sangat menyayangimu. Mereka diam bukan berarti tidak peduli. Mereka menunggumu mau bercerita. Temuilah mereka. Ceritakanlah masalahmu. Kalau pun mereka tidak bisa membantumu, setidaknya itu bisa mengurangi sakit hatimu.”
Diam.
“Layaknya gelas yang terisi air. Jika kau akan menuangkan kembali air ke dalam gelas itu lagi, tapi kau tak mengurangi isinya terlebih dahulu. Air tersebut akan tumpah. Begitu juga dengan hatimu. Setidaknya, hatimu akan jauh lebih lega jika kamu berbagi dengan mereka. Cobalah.” Lanjut Yong Hwa.
Aku tersenyum. Benar kata Yong Hwa. Setidaknya aku harus membiarkan mereka tahu masalah yang sedang aku hadapi.
“Setiap orang pasti mempunyai masalahnya masing-masing Seo Hyun-ah. Tidak hanya kau. Mungkin saja menurutmu, kamu memiliki masalah yang begitu rumit. Lalu, siapa namanya, Yoon Ah. Dia terlihat baik-baik saja dengan pacarnya, namun siapa yang tahu. Bukankah kau bilang Yoon Ah orangnya mandiri? Mungkin saja Yoon Ah sepertimu, enggan menceritakan masalahnya kepada kalian. Atau Shin Hye, dia terlihat baik-baik saja di luar. Tapi kau mengatakan neneknya baru-baru ini meninggal dunia. Aku rasa Shin Hye tidak baik-baik saja, dia hanya mencoba bersikap kalau dia baik-baik saja. Dan So Hee. Aku rasa kau jauh lebih mengenalnya. Dia berkali-kali diputus oleh beberapa namja. Bagimu itu belum seberapa dibanding yang kau alami, tapi bagi So Hee. Bisa di katakan, dia sama menderitanya seperti kamu. Tuhan mempunyai caranya sendiri untuk menguji kaumnya. Dan inilah ujianmu. Hadapilah. Semua pasti akan terlewati. Dan menjadikanmu lebih dewasa.” Yong Hwa menepuk pundakku pelan.
“Kau benar Yong Hwa-ya. Gomawo. Aku akan segera menemui mereka.” Kataku bersemangat.


Note FB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar