“Dasar gadis jutek, judes, ketus. Untung kamu menyadari kalau kamu seperti itu. Baru kenal saja sikapmu seperti itu, apalagi teman dekatmu. Pasti tiap hari kamu ketusin. Semoga saja kamu tidak pernah lagi balikan sama dia.”
Sebaris kalimat dari
status Facebook seorang teman dua tahun yang lalu. Hanya karena masalah sepele,
dia langsung menilaiku seperti itu. Awalnya aku pun terpancing dengan
ucapannya. Bahkan aku balas menyindirnya.
“Kalau
mendoakan seseorang itu yang baik dong. Biar dikabulin sama Allah. Kalau doa
kamu jelek seperti itu, mana mungkin akan dikabulkan. Terserah kamu bilang apa.
Memang sikapku seperti ini kok.”
Sebenarnya dia bukanlah
teman dekatku. Lebih tepatnya dia hanyalah seseorang yang aku kenal. Baiklah,
aku akan jujur. Dia, seorang gadis, mantan pertama dari seorang lelaki yang
special bagiku kala itu. Saat itu aku sedang mendapatkan masalah dengan lelaki
tersebut. Hubungan kami berakhir, entah bagaimana gadis itu mengetahuinya. Aku
rasa lelaki itu menceritakan kepadanya.
Gadis itu bermaksud
baik (aku rasa begitu), tapi caranya yang salah. Menurutku dia terlalu berani
ikut campur. Sebenarnya dia hanya ingin tahu alasan kami putus, tapi aku enggan
memberitahu. Aku rasa itu urusan intern antara kami (aku dan lelaki itu). Namun
tak kusangka, gadis itu memaksa. Akhirnya aku mengatakan, “Itu bukan urusan kamu, mbak.” Dan dia menilai, bahwa kalimatku
tadi ketus.
Aku sadari memang bukan
kesalahannya, memang beginilah aku. Aku sudah terbiasa dikatakan ketus.
Prinsipku, aku tidak suka berpura-pura. Ya, beginilah aku. Jika mau berteman
denganku, kalian harus bisa menerimaku apa adanya. Menerimaku yang judes dan
ketus. Tapi percayalah, sebenarnya aku baik hati.
Sudah banyak yang
membuktikan, di awal kenal denganku mereka takut. Tapi setelah dekat serta tahu
sifat asliku, kata mereka, aku easy going.
Sungguh, ini bukan aku yang mengada-ada. Tapi memang berdasarkan perkataan
orang-orang terdekatku. Sahabatku dari SMP, SMA dan teman seperjuangan kuliah.
Sifatku sedikit cerewet,
namun bisa dipercaya, dan bertanggung jawab. Ah, mereka juga mengatakan. Aku
memiliki kekurangan, seperti sifatku yang kadang suka memimpin dan seenaknya
sendiri. Sifat jelekku ini mungkin dipengaruhi oleh golongan darahku, tipe
golongan darah B.
Aku tipe orang yang
tidak suka merepotkan orang lain selama aku masih bisa menangani permasalahanku
sendiri. Sahabat-sahabatku tahu akan hal ini. Jadi meskipun mereka tahu aku
punya masalah, jika aku belum mau cerita. Mereka akan diam dan pura-pura tidak
mengetahuinya. Selain itu, aku ini orangnya mudah sungkan. Jika ada yang
meminta bantuan, aku sulit untuk menolaknya. Kadang tanpa memikirkan resikonya,
aku langsung mengulurkan bantuan begitu saja. Satu lagi sifat minusku, suka gegabah.
Seseorang yang aku
anggap adik, mengatakan seperti ini:
“Mbak,
kamu itu orangnya polos sih. Maksudku, kamu itu apa adanya. Tidak suka
menutup-nutupi kekuranganmu. Kamu cerewet, sifatmu itu selalu kamu tunjukkan.
Pesonamu itu disitu, mbak. Maka dari itu aku nyaman banget cerita ke kamu.”
Aku sempat tertawa
mendengar perkataannya. Lama aku berpikir, nampaknya memang ucapannya itu
benar. Kadang aku pun kesulitan menilai diri sendiri. Hal yang aku anggap
benar, orang lain mengatakan aku melakukan kesalahan.
“Gajah
di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.”
Pepatah ini sangat pantas untuk
instropeksi diri kita. Kalimat yang selalu aku ingat di memori otak agar tidak
selalu curiga terhadap orang lain. Bahkan agamaku mengajarkan untuk tidak
Suudzon (berburuk sangka) terhadap orang lain.
Setiap orang punya
sifat dan watak yang berbeda. Tidak seharusnya kita menilai seseorang hanya
dengan melihat penampakan luarnya saja. Tidak adil menilai cover tanpa melihat
isi. Bukankah ada pepatah berbunyi seperti ini,
“Jangan
hanya melihat buku dari sampulnya.”
Aku rasa pepatah itu ada benarnya juga.
Walaupun kadang memang ada yang memiliki kepribadian seperti penampilannya.
Tapi itu hanya satu banding sekian ratus orang kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar