Selasa, 04 Maret 2014

[FanFiction] Propose



Title                 : Propose
Author             : Chiaki Minaka
Main Cast        : Park Jung Soo (Leeteuk SJ) – Choi Ji Yeon (OC)
Length             : Ficlet
Genre              : Romance, Fluff
Rated               : G
Disc           : Park jung Soo alias Leeteuk dan semua artis yang muncul di FanFict ini milik Tuhan, orangtuanya dan seluruh fans di dunia. Original cast dalam cerita seutuhnya milik author. Ide cerita murni dari otak author. Jika ada kemiripan jalan cerita, itu hanya kebetulan semata tanpa ada unsur plagiat dari sumber lain. Don’t copast! Don’t bash! Don’t don yang lain pokoknya!!! Kalo gak suka, gak usah baca. So simple.

WARNING Typos dan kawan-kawannya!!! Alur yang ketebak maupun feel yang datar ^^
Satu lagi FF pesanan dari #91SJELF Raa... semoga kamu suka dengan FF labil ini, maaf kalo jelek... ini ide acak adul yang mampir diotak saya dengan kurangajar..hehehe

---STORY BEGIN---
 
“Menikahimu adalah cara untuk menjagamu agar kau tak lepas dari jarak pandangku.” Kataku sembari berlutut di depan gadis bermarga Choi ini. Setangkai bunga mawar merah berada dalam genggaman tanganku.
Ji Yeon menatapku tak percaya. Gadis ini, sungguh menggemaskan. Ingin rasanya aku mendekap tubuh mungilnya. Jika saja saat ini aku tak menyadari di mana kami berada. Amusement Park selalu ramai pada saat hari libur seperti sekarang. Pandangan seluruh pengunjung tertuju pada kami berdua. Bahkan beberapa di antaranya ada yang menatap iri ke arah gadisku. Gadisku? Ayolah Park Jung Soo, jangan membual.
Debar jantungku makin tak beraturan menunggu jawaban Ji Yeon. Aku menatapnya penuh harap. Antara takut dia akan menolakku, tapi juga lega karena dia sudah mengutarakan perasaanku.
Would you marry me?” tanyaku lagi.
Choi Ji Yeon tersenyum lembut. Sebuah senyuman yang menggoda dan penuh arti. Aku makin berdebar menanti jawaban apa yang akan dia berikan.
~~~~~000~~~~~


Aku masih tersenyum memandangi kotak persegi empat berwarna violet di tanganku.

Wedding:
Lee Si Woo & Park Se Mi

Satu lagi sahabatku yang telah menemukan tambatan hatinya. Si Woo dan Se Mi telah dua tahun menjalin hubungan. Begitu Se Mi lulus kuliah, Si Woo langsung melamarnya. Ada rasa iri yang mendesak keluar, namun ada kebahagiaan yang menyergap mengetahui berita menggembirakan ini.
Kupencet dial nomor 1 di ponselku. Nomor dari seseorang yang sangat berarti di hatiku. Seorang gadis ceroboh yang berhasil memikatku. Gadis yang telah kukenal lebih dari satu tahun yang lalu.
 “Halo, Ji Yeon-ah?” sapaku pada orang yang mengangkat telepon di seberang sana.
Ya. Ada apa Jung Soo oppa?” Suaranya begitu lembut di telingaku. Menyejukkan dan menjadi candu tersendiri buatku.
“Kau dapat undangan dari Si Woo?”
Hem. Oppa juga?
“Tentu saja, kau tak lupa jika kami telah bersahabat lama kan? Em, kau datang?”
Aku usahakan, Oppa. Jadwal bimbinganku agak padat dua minggu ini.
 “Mau bareng denganku? Datang sendirian kurasa akan membosankan. Setidaknya jika bersamamu, aku mempunyai teman ngobrol. Eotte?” kataku beralasan. Bodoh, rutukku. Mengapa justru mengatakan hal konyol seperti itu? Ji Yeon pasti akan salah paham.
Meskipun demikian, dalam hati aku berharap Ji Yeon menerima ajakanku. Sosoknya yang ceria, mudah bergaul, lucu dan ramah sangat menarik di mataku. Apa aku baru saja memujinya? Ah, rupanya aku sangat menyukai gadis ini.
“Kalau kau tidak ma—“
Baiklah. Setidaknya disana aku ada teman. Datang sendirian ke sebuah pesta sungguh membosankan.
Thank’s God. Kau mendengar doaku, teriakku dalam hati. Ji Yeon mengiyakan ajakan dariku. Semoga ini pertanda baik. Sudut bibirku terangkat, menampilkan dimple di pipi kananku.
 “Jinjja? Kalau begitu satu jam sebelum acara aku akan menjemputmu di rumah,” ujarku bersemangat.
Oke. Aku tunggu. Sampai jumpa minggu depan.
Aku melonjak riang. Mengepalkan tinjuku ke atas, seolah baru saja memenangkan lotre. Biarlah orang yang melihat mengataiku kekanakan. Aku tak peduli.

Seminggu kemudian
Aku duduk santai di serambi rumah keluarga Choi. Menunggu Ji Yeon yang sedang mematut diri. Hal yang wajar dilakukan seorang gadis saat akan menghadiri pesta. Sesekali kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
“Aku sudah siap, Oppa. Mau berangkat sekarang?”
Aku menoleh ke sosok yang berdiri di seberang tempatku duduk. Kuperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah seperti mengawasi benda antik. Ji Yeon tampil begitu cantik dan memesona. Dia memakai dress panjang berwarna peach dengan tanpa lengan ditambah sabuk sebagai aksesoris di pinggangnya yang ramping. Rambutnya digulung ke atas dan hanya menyisakan beberapa helai di dekat telinga, diberi jepit berwarna perak. Sebuah kalung menghiasi leher jenjangnya, tak lupa ia memakai anting berwarna senada menambah ayu parasnya. Aku terperangah takjub melihat maha karya Tuhan yang satu ini, mungkinkah dia bidadari yang terdampar di bumi?
“Ehm. Apa aku terlihat aneh?” tanyanya kikuk. Kesadaranku mulai terkumpul kembali. Aku berdehem ringan menghilangkan keterkejutanku.
“Aniya. Kau terlihat cantik. Neomu yeoppo.”  
Dia tertunduk malu mendengar pujianku. Tapi aku tak dapat memungkiri jika penampilannya saat ini sangat memukau.
“Kita berangkat sekarang?” ajakku, berniat menghilangkan rasa canggung di antara kami. Lebih tepatnya menutupi rona merah yang mungkin telah bersarang di kedua pipiku saat Ji Yeon memergokiku menatapnya intens.
Setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat resepsi. Sebuah hotel milik keluarga Lee yang terletak di pusat kota Seoul. Aku membantu Ji Yeon turun dari mobilku. Lalu kami berjalan beriringan memasuki ballroom hotel.
“Park Jung Soo.” Sebuah suara menyapaku. Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat Park Hae Jin melambai ke arahku. Aku mengajak Ji Yeon menghampiri sahabatku tersebut.
“Hae Jin-ah. Anyeong, Yi Hyun-ssi. Long time no see. Bagaimana kabar kalian? Wah, sepertinya kalian akan segera memiliki momongan,” godaku pada kedua pasangan yang telah menikah satu tahun yang lalu.
“Yak, jangan menggodaku Jung Soo-ya. Kau sendiri, kapan menyusul?” timpal Yi Hyun.
“Kulihat kau sudah menemukan sang mempelai wanita,” bisik Hae Jin tepat disamping telingaku.
Kulirik Ji Yeon yang berdiri di sebelahku. Senyum manis tak pernah lepas dari wajah cantiknya. Dia berdiri kikuk, mungkin dia merasa jika seharusnya tidak ikut serta dalam pembicaraan ini. Seketika aku menahan tawa melihatnya salah tingkah.
“Hae Jin-ah, Yi Hyun-ssi, kenalkan ini Choi Ji Yeon.”
Ji Yeon menjabat tangan Hae Jin dan Yi Hyun bergantian. Ada rasa bersalah telah melupakan keberadaannya. Sedangkan aku judtru asik mengobrol bersama kedua sahabatku. Park Jung Soo, kau keterlaluan. Seharusnya kau tak melakukan hal sebodoh itu.
Kami berempat berjalan bersama menuju memasuki ballroom. Hendak mengucapkan selamat pada kedua pengantin. Sesekali kudengar Yi Hyun menggoda Ji Yeon.
“Jung Soo-ya, ini gadis yang kau maksud? Yeoppo. Tak heran jika kamu terpesona olehnya. Aku mendukungmu. Jangan terlalu lama, sebelum direbut orang. Fighting!”
Stop it!” ucapku tegas. “Kau benar Hae Jin-ah. Namun ini belum saatnya. Dia juga masih kuliah, meskipun sudah semester akhir. Dan hubungan kami belum sampai sejauh itu. Kami sebatas teman. Ne, chingu.”
Hae Jin menatap tak percaya kepadaku. Senyuman miris terukir di wajahku. Hae Jin menepuk pundakku pelan. Sorot matanya seolah mengatakan semua akan berjalan lancar. Memberikan semangat, yah, sekadara basa-basi kurasa.
Sesampainya di depan kedua pengantin—Si Woo dan Se Mi—obrolan yang terjadi tak jauh berbeda dari percakapan beberapa menit yang lalu. Tak hanya Si Woo yang menggodaku, namun Se Mi juga melakukan hal yang sama terhadap Ji Yeon. Entahlah apa yang dibicarakan kedua sahabat itu. Kulihat raut muka Ji Yeon yang tersipu malu. Dan membuat Se Mi tertawa pelan.
“Cepatlah Jung Soo-ya. Umurmu sudah pantas untuk memiliki istri. Bahkan beberapa teman-teman kita sudah mempunyai anak.”
“Kau sama saja dengan Hae Jin, Si Woo-ya. Aku bukannya tak ingin, namun belum menemukan yang cocok.”
“Itu.” Si Woo mengedikkan dagu, menunjuk ke dua orang yang sedang bercanda tawa. Aku sangat yakin jika orang yang dia maksud adalah Ji Yeon.
“Kulihat kalian makin dekat. Aku yakin kau menjemputnya dan berangkat bersama kan? Tunggu apa lagi, Jung Soo-ya? Bukankah ini artinya lampu hijau buatmu.”
“Apa yang kau lihat kadang tak sesuai dengan kenyataan, Si Woo-ya.”
Kami berdua tertawa berbarengan. Setelah puas bercakap-cakap dengan Si Woo, aku menghampiri Se Mi dan Ji Yeon. Lebih tepatnya aku mencoba mendekati Ji Yeon.
“Chukkae, Se Mi-ya.”
Thanks. Kuharap kau segera mengikuti jejakku. Begitu juga denganmu, Ji Yeon-ah.”
“Doakan saja, Se Mi-ya. Semoga dimudahkan.” Ujar Choi Ji Yeon lembut.
Gadis ini selalu membuatku kagum. Tutur katanya yang sopan dan lembut. Sikapnya yang spontan namun tetap mengikuti tata krama. Segala yang ada dalam dirinya membuatku tak bisa berpaling.
Ji Yeon mengajakku menyicipi hidangan yang tersaji. Memberi kesempatan pada tamu yang lain untuk berbincang dengan kedua mempelai. Aku mengulum senyum. Menyembunyikan kegembiraan yang tiba-tiba menyergap hatiku.
“Tamu yang datang lebih banyak teman-teman Si Woo Oppa? Geutji, Oppa?”
“Ne. Kurasa begitu.”
“Ah, aku sedikit iri dengan Se Mi.”
“Iri? Kalau aku boleh tahu alasannya, kenapa kau merasa iri?” tanyaku hati-hati.
“Kadang aku berpikir, kapan bisa menyusul mereka. Banyak di antara teman seangkatan yang sudah memiliki kehidupan berumah tangga. Ada pula yang sudah mempunyai anak, sedangkan aku? Kekasih saja tak punya.”
“Apa kau menyindirku? Kau masih muda, cantik pula, aku rasa banyak yang menyukaimu. Namun kau saja yang tak menyadarinya,” kelakarku.
“Ah, Jung Soo Oppa terlalu berlebihan. Apa kali ini Oppa sedang menyombongkan diri? Oppa cukup tampan, sudah mapan, pasti banyak di antara teman kerja Oppa yang diam-diam memendam rasa.”
“Aku tersanjung mendengar pujian darimu, Ji Yeon-ah. Dan aku akan sangat senang jika kau masuk ke dalam salah satu daftar nama penggemar tersebut,” ujarku setengah bergurau. Namun sebenarnya aku sungguh berharap jika Ji Yeon memang memiliki perasaan lebih dari sekedar teman padaku. Meskipun perasaan itu hanya sekian persen.
Sejenak dia tersentak, lalu sedetik kemudian tertawa menimpali candaan yang aku lontarkan. Aku pun ikut tertawa, mencairkan suasana yang tadi sempat menegang. Puas berkeliling menyantap sajian yang ada, kuputuskan mengajak Ji Yeon pulang.
Selama perjalanan, kami bercakap tentang banyak hal. Ji Yeon dengan lugas menceritakan kesulitannya menyelesaikan tugas kuliah. Berkeluh kesah bagaimana dosennya sulit ditemui. Atau rasa bosan yang menghampiri saat harus berkutat dengan diktat perkuliahan selama seharian penuh. Tanpa aku sadari, aku pun telah menumpahkan masalah yang mengganjal hatiku. Baik mengenai pekerjaan, maupun hal yang bersifat sedikit pribadi. Dan aku semakin menyukai sosok Ji Yeon. Yah, kurasa aku benar-benar telah jatuh cinta pada Choi Ji Yeon.
---ooo---

Sejak menghadiri acara pernikahan Si Woo, kami—aku dan Ji Yeon—semakin dekat. Tidak seperti sebelumnya. Kini aku mulai menyadari jika aku menginginkan Ji Yeon. Jika hanya menuruti hasrat, aku takut hal itu justru menyakitinya. Aku ingin dia menjadi milikku secara sah di mata hukum.

“Jangan terlalu lama bersedih, Ji Yeon-ah. Tak ada gunanya kau meneteskan air mata untuk lelaki itu. Dia telah mengkhianatimu. Seandainya Tuhan menakdirkan dia sebagai jodohmu kelak, kalian pasti akan bersatu kembali. Entah bagaimana caranya, hal itu pasti akan terjadi. Masa depan masih menjadi misteri.”
“Kau tak akan mengerti, Oppa. Kami sudah berpacaran selama dua tahun. Tapi dia dengan mudahnya berselingkuh dan memutuskanku. Aku sakit hati.”
“Arra, aku pun pernah mengalaminya. Kekasihku dijodohkan kedua orangtuanya. Sebagai anak yang berbakti, dia menerima keputusan itu. Aku pun tak kuasa mencegahnya. Saat itu kami baru saja lulus kuliah dan aku belum memiliki pekerjaan.”
“Mianhae, Oppa. Aku tak tahu jika kamu—“
“Gwaenchana. Aku sudah mengikhlaskannya. Kelak jika kami berjodoh, dia pasti kembali padaku. Kalaupun tidak, mungkin Tuhan telah menuliskan nama lain untukku. Bukan begitu? Sekarang, tersenyumlah. Hadapi kenyataan, sepahit apapun itu. Kau pasti mampu melaluinya.”
“Gomawo Oppa. Nasehat darimu akan selalu aku ingat.”

Kenangan akan pertama kalinya aku mengenal lebih dalam sosok Ji Yeon. Sebuah percakapan yang terjadi begitu saja saat aku bermain ke Kyunghee Universitas. Kampus Ji Yeon, kampus tempatku menempuh gelar sarjana dulu.
Sebenarnya kami telah lama saling mengenal. Ji Yeon adik tingkatku di Senior High School. Usia kami terpaut tiga tahun. Kebetulan dia mengikuti kegiatan baksos, dan saat dia masuk aku menjabat sebagai ketua. Dua tahun kami saling mengenal di kampus. Sebatas teman, masing-masing dari kami mempunyai kekasih. Hingga hari itu aku mendapatinya sedang menangis di dekat Fakultas Seni.
Ji Yeon, apakah kau merasakan hal yang sama? Mungkinkah kau akan menerimaku untuk mengisi kekosongan hatimu? Dua tahun berteman, satu tahun berhubungan tanpa status sudah cukup bagiku untuk mengenal kepribadianmu. Entah sebuah kesialan atau keberuntungan bagimu jika mengetahui aku telah jatuh hati padamu. Jika boleh aku memohon, aku berdoa semoga kau menganggap hal ini sebagai sebuah keberuntungan.
~~~~~000~~~~~


 Would you marry me?” tanyaku lagi.
Ji Yeon tersenyum lembut. Sebuah senyuman yang menggoda dan penuh arti. Aku makin berdebar menanti jawaban apa yang akan dia berikan.
“Kau mau mendengar jawaban seperti apa, Oppa?”
“Em... itu… terserah padamu Ji Yeon-ah.” Tergagap aku menjawab pertanyaan darinya. Gadis ini menggodaku ternyata. Apa dia tidak tahu aku sangat gugup menantikan jawaban darinya. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipisku, bahkan dapat kurasakan tangan-tanganku mulai basah.
“Begitu, Oppa yakin tidak akan kecewa dengan jawaban dariku?”
Kesusahan aku menelan ludah. Menyiapkan mental mendengar kalimat yang akan diucapkan Ji Yeon.
I will. Ne, aku mau Oppa.” Katanya lembut lalu mengambil bunga mawar dari tanganku. Terdengar riuh suara tepuk tangan beberapa pengunjung di taman ini. Aku mengusap tengkukku, menutupi kegugupan yang kurasakan.
Ji Yeon membantuku berdiri. Dia menatapku lembut, seolah mengatakan jika dia sangat bahagia. Aku membalas tatapan matanya, sebuah lengkungan ke atas terbentuk dari kedua sudut bibirnya. Seperti sebuah virus yang menyebar, aku ikut tersenyum. Kutarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Membiarkan Ji Yeon merasakan degup jantungku yang berdetak di atas normal. Biarlah gadis ini tahu betapa aku sangat mencintainya.
Tuhan, rencanamu begitu indah. Saat aku kehilangan orang yang kusebut kekasih, ternyata itu menjadi jalanku untuk menemukan pasangan hidupku. Aku tak menyangka ternyata tulang rusuk yang Kau takdirkan untukku adalah orang yang selama ini berada di sekitarku.

---fin---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar