Title : Propose
Author : Chiaki Minaka
Main Cast : Park Jung Soo (Leeteuk SJ) – Choi Ji Yeon (OC)
Length : Ficlet
Genre : Romance, Fluff
Rated : G
Disc
: Park jung Soo
alias Leeteuk dan semua artis yang muncul di FanFict ini milik Tuhan,
orangtuanya dan seluruh fans di dunia. Original cast dalam cerita seutuhnya milik
author. Ide cerita murni dari otak author. Jika ada kemiripan jalan cerita, itu
hanya kebetulan semata tanpa ada unsur plagiat dari sumber lain. Don’t copast!
Don’t bash! Don’t don yang lain pokoknya!!! Kalo gak suka, gak usah baca. So
simple.
Satu lagi FF pesanan dari #91SJELF Raa... semoga kamu suka dengan FF labil ini, maaf kalo jelek... ini ide acak adul yang mampir diotak saya dengan kurangajar..hehehe
---STORY BEGIN---
“Menikahimu
adalah cara untuk menjagamu agar kau tak lepas dari jarak pandangku.” Kataku sembari
berlutut di depan gadis bermarga Choi ini. Setangkai bunga mawar merah berada
dalam genggaman tanganku.
Ji Yeon
menatapku tak percaya. Gadis ini, sungguh menggemaskan. Ingin rasanya aku
mendekap tubuh mungilnya. Jika saja saat ini aku tak menyadari di mana kami
berada. Amusement Park selalu ramai pada saat hari libur seperti sekarang.
Pandangan seluruh pengunjung tertuju pada kami berdua. Bahkan beberapa di
antaranya ada yang menatap iri ke arah gadisku. Gadisku? Ayolah Park Jung Soo, jangan
membual.
Debar jantungku
makin tak beraturan menunggu jawaban Ji Yeon. Aku menatapnya penuh harap.
Antara takut dia akan menolakku, tapi juga lega karena dia sudah mengutarakan
perasaanku.
“Would you marry me?” tanyaku lagi.
Choi Ji Yeon
tersenyum lembut. Sebuah senyuman yang menggoda dan penuh arti. Aku makin
berdebar menanti jawaban apa yang akan dia berikan.
~~~~~000~~~~~
Aku masih
tersenyum memandangi kotak persegi empat berwarna violet di tanganku.
Wedding:
Lee Si Woo & Park Se Mi
Satu lagi sahabatku yang telah
menemukan tambatan hatinya. Si Woo dan Se Mi telah dua tahun menjalin hubungan.
Begitu Se Mi lulus kuliah, Si Woo langsung melamarnya. Ada rasa iri yang
mendesak keluar, namun ada kebahagiaan yang menyergap mengetahui berita
menggembirakan ini.
Kupencet dial
nomor 1 di ponselku. Nomor dari seseorang yang sangat berarti di hatiku.
Seorang gadis ceroboh yang berhasil memikatku. Gadis yang telah kukenal lebih
dari satu tahun yang lalu.
“Halo, Ji Yeon-ah?” sapaku pada orang yang
mengangkat telepon di seberang sana.
“Ya. Ada apa Jung Soo oppa?” Suaranya
begitu lembut di telingaku. Menyejukkan dan menjadi candu tersendiri buatku.
“Kau dapat
undangan dari Si Woo?”
“Hem. Oppa juga?”
“Tentu saja,
kau tak lupa jika kami telah bersahabat lama kan? Em, kau datang?”
“Aku usahakan, Oppa. Jadwal bimbinganku agak
padat dua minggu ini.”
“Mau bareng denganku? Datang sendirian kurasa
akan membosankan. Setidaknya jika bersamamu, aku mempunyai teman ngobrol. Eotte?”
kataku beralasan. Bodoh, rutukku. Mengapa justru mengatakan hal konyol seperti
itu? Ji Yeon pasti akan salah paham.
Meskipun
demikian, dalam hati aku berharap Ji Yeon menerima ajakanku. Sosoknya yang
ceria, mudah bergaul, lucu dan ramah sangat menarik di mataku. Apa aku baru
saja memujinya? Ah, rupanya aku sangat menyukai gadis ini.
“Kalau kau
tidak ma—“
“Baiklah. Setidaknya disana aku ada teman.
Datang sendirian ke sebuah pesta sungguh membosankan.”
Thank’s God. Kau mendengar doaku, teriakku dalam
hati. Ji Yeon mengiyakan ajakan dariku. Semoga ini pertanda baik. Sudut bibirku
terangkat, menampilkan dimple di pipi
kananku.
“Jinjja? Kalau begitu satu jam sebelum acara
aku akan menjemputmu di rumah,” ujarku bersemangat.
“Oke. Aku tunggu. Sampai jumpa minggu depan.”
Aku melonjak
riang. Mengepalkan tinjuku ke atas, seolah baru saja memenangkan lotre. Biarlah
orang yang melihat mengataiku kekanakan. Aku tak peduli.
Seminggu kemudian
Aku duduk
santai di serambi rumah keluarga Choi. Menunggu Ji Yeon yang sedang mematut
diri. Hal yang wajar dilakukan seorang gadis saat akan menghadiri pesta. Sesekali
kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
“Aku sudah
siap, Oppa. Mau berangkat sekarang?”
Aku menoleh ke
sosok yang berdiri di seberang tempatku duduk. Kuperhatikan penampilannya dari
atas hingga bawah seperti mengawasi benda antik. Ji Yeon tampil begitu cantik dan
memesona. Dia memakai dress panjang
berwarna peach dengan tanpa lengan ditambah
sabuk sebagai aksesoris di pinggangnya yang ramping. Rambutnya digulung ke atas
dan hanya menyisakan beberapa helai di dekat telinga, diberi jepit berwarna
perak. Sebuah kalung menghiasi leher jenjangnya, tak lupa ia memakai anting berwarna
senada menambah ayu parasnya. Aku terperangah takjub melihat maha karya Tuhan
yang satu ini, mungkinkah dia bidadari yang terdampar di bumi?
“Ehm. Apa aku
terlihat aneh?” tanyanya kikuk. Kesadaranku mulai terkumpul kembali. Aku
berdehem ringan menghilangkan keterkejutanku.
“Aniya. Kau
terlihat cantik. Neomu yeoppo.”
Dia tertunduk
malu mendengar pujianku. Tapi aku tak dapat memungkiri jika penampilannya saat
ini sangat memukau.
“Kita berangkat
sekarang?” ajakku, berniat menghilangkan rasa canggung di antara kami. Lebih
tepatnya menutupi rona merah yang mungkin telah bersarang di kedua pipiku saat Ji
Yeon memergokiku menatapnya intens.
Setengah jam
waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat resepsi. Sebuah hotel milik
keluarga Lee yang terletak di pusat kota Seoul. Aku membantu Ji Yeon turun dari
mobilku. Lalu kami berjalan beriringan memasuki ballroom hotel.
“Park Jung Soo.”
Sebuah suara menyapaku. Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat Park Hae Jin
melambai ke arahku. Aku mengajak Ji Yeon menghampiri sahabatku tersebut.
“Hae Jin-ah. Anyeong,
Yi Hyun-ssi. Long time no see. Bagaimana
kabar kalian? Wah, sepertinya kalian akan segera memiliki momongan,” godaku
pada kedua pasangan yang telah menikah satu tahun yang lalu.
“Yak, jangan
menggodaku Jung Soo-ya. Kau sendiri, kapan menyusul?” timpal Yi Hyun.
“Kulihat kau
sudah menemukan sang mempelai wanita,” bisik Hae Jin tepat disamping telingaku.
Kulirik Ji Yeon
yang berdiri di sebelahku. Senyum manis tak pernah lepas dari wajah cantiknya.
Dia berdiri kikuk, mungkin dia merasa jika seharusnya tidak ikut serta dalam pembicaraan
ini. Seketika aku menahan tawa melihatnya salah tingkah.
“Hae Jin-ah, Yi
Hyun-ssi, kenalkan ini Choi Ji Yeon.”
Ji Yeon
menjabat tangan Hae Jin dan Yi Hyun bergantian. Ada rasa bersalah telah
melupakan keberadaannya. Sedangkan aku judtru asik mengobrol bersama kedua
sahabatku. Park Jung Soo, kau keterlaluan. Seharusnya kau tak melakukan hal
sebodoh itu.
Kami berempat
berjalan bersama menuju memasuki ballroom.
Hendak mengucapkan selamat pada kedua pengantin. Sesekali kudengar Yi Hyun
menggoda Ji Yeon.
“Jung Soo-ya, ini
gadis yang kau maksud? Yeoppo. Tak heran jika kamu terpesona olehnya. Aku
mendukungmu. Jangan terlalu lama, sebelum direbut orang. Fighting!”
“Stop it!” ucapku tegas. “Kau benar Hae
Jin-ah. Namun ini belum saatnya. Dia juga masih kuliah, meskipun sudah semester
akhir. Dan hubungan kami belum sampai sejauh itu. Kami sebatas teman. Ne,
chingu.”
Hae Jin menatap
tak percaya kepadaku. Senyuman miris terukir di wajahku. Hae Jin menepuk
pundakku pelan. Sorot matanya seolah mengatakan semua akan berjalan lancar.
Memberikan semangat, yah, sekadara basa-basi kurasa.
Sesampainya di
depan kedua pengantin—Si Woo dan Se Mi—obrolan yang terjadi tak jauh berbeda
dari percakapan beberapa menit yang lalu. Tak hanya Si Woo yang menggodaku,
namun Se Mi juga melakukan hal yang sama terhadap Ji Yeon. Entahlah apa yang
dibicarakan kedua sahabat itu. Kulihat raut muka Ji Yeon yang tersipu malu. Dan
membuat Se Mi tertawa pelan.
“Cepatlah Jung
Soo-ya. Umurmu sudah pantas untuk memiliki istri. Bahkan beberapa teman-teman
kita sudah mempunyai anak.”
“Kau sama saja
dengan Hae Jin, Si Woo-ya. Aku bukannya tak ingin, namun belum menemukan yang
cocok.”
“Itu.” Si Woo mengedikkan
dagu, menunjuk ke dua orang yang sedang bercanda tawa. Aku sangat yakin jika
orang yang dia maksud adalah Ji Yeon.
“Kulihat kalian
makin dekat. Aku yakin kau menjemputnya dan berangkat bersama kan? Tunggu apa
lagi, Jung Soo-ya? Bukankah ini artinya lampu hijau buatmu.”
“Apa yang kau
lihat kadang tak sesuai dengan kenyataan, Si Woo-ya.”
Kami berdua
tertawa berbarengan. Setelah puas bercakap-cakap dengan Si Woo, aku menghampiri
Se Mi dan Ji Yeon. Lebih tepatnya aku mencoba mendekati Ji Yeon.
“Chukkae, Se
Mi-ya.”
“Thanks. Kuharap kau segera mengikuti
jejakku. Begitu juga denganmu, Ji Yeon-ah.”
“Doakan saja, Se
Mi-ya. Semoga dimudahkan.” Ujar Choi Ji Yeon lembut.
Gadis ini
selalu membuatku kagum. Tutur katanya yang sopan dan lembut. Sikapnya yang
spontan namun tetap mengikuti tata krama. Segala yang ada dalam dirinya
membuatku tak bisa berpaling.
Ji Yeon
mengajakku menyicipi hidangan yang tersaji. Memberi kesempatan pada tamu yang
lain untuk berbincang dengan kedua mempelai. Aku mengulum senyum.
Menyembunyikan kegembiraan yang tiba-tiba menyergap hatiku.
“Tamu yang
datang lebih banyak teman-teman Si Woo Oppa? Geutji, Oppa?”
“Ne. Kurasa
begitu.”
“Ah, aku
sedikit iri dengan Se Mi.”
“Iri? Kalau aku
boleh tahu alasannya, kenapa kau merasa iri?” tanyaku hati-hati.
“Kadang aku
berpikir, kapan bisa menyusul mereka. Banyak di antara teman seangkatan yang
sudah memiliki kehidupan berumah tangga. Ada pula yang sudah mempunyai anak,
sedangkan aku? Kekasih saja tak punya.”
“Apa kau
menyindirku? Kau masih muda, cantik pula, aku rasa banyak yang menyukaimu.
Namun kau saja yang tak menyadarinya,” kelakarku.
“Ah, Jung Soo Oppa
terlalu berlebihan. Apa kali ini Oppa sedang menyombongkan diri? Oppa cukup
tampan, sudah mapan, pasti banyak di antara teman kerja Oppa yang diam-diam
memendam rasa.”
“Aku tersanjung
mendengar pujian darimu, Ji Yeon-ah. Dan aku akan sangat senang jika kau masuk
ke dalam salah satu daftar nama penggemar tersebut,” ujarku setengah bergurau.
Namun sebenarnya aku sungguh berharap jika Ji Yeon memang memiliki perasaan
lebih dari sekedar teman padaku. Meskipun perasaan itu hanya sekian persen.
Sejenak dia
tersentak, lalu sedetik kemudian tertawa menimpali candaan yang aku lontarkan.
Aku pun ikut tertawa, mencairkan suasana yang tadi sempat menegang. Puas
berkeliling menyantap sajian yang ada, kuputuskan mengajak Ji Yeon pulang.
Selama
perjalanan, kami bercakap tentang banyak hal. Ji Yeon dengan lugas menceritakan
kesulitannya menyelesaikan tugas kuliah. Berkeluh kesah bagaimana dosennya
sulit ditemui. Atau rasa bosan yang menghampiri saat harus berkutat dengan
diktat perkuliahan selama seharian penuh. Tanpa aku sadari, aku pun telah
menumpahkan masalah yang mengganjal hatiku. Baik mengenai pekerjaan, maupun hal
yang bersifat sedikit pribadi. Dan aku semakin menyukai sosok Ji Yeon. Yah,
kurasa aku benar-benar telah jatuh cinta pada Choi Ji Yeon.
---ooo---
Sejak
menghadiri acara pernikahan Si Woo, kami—aku dan Ji Yeon—semakin dekat. Tidak
seperti sebelumnya. Kini aku mulai menyadari jika aku menginginkan Ji Yeon.
Jika hanya menuruti hasrat, aku takut hal itu justru menyakitinya. Aku ingin
dia menjadi milikku secara sah di mata hukum.
“Jangan terlalu lama bersedih, Ji Yeon-ah. Tak ada gunanya kau
meneteskan air mata untuk lelaki itu. Dia telah mengkhianatimu. Seandainya Tuhan
menakdirkan dia sebagai jodohmu kelak, kalian pasti akan bersatu kembali. Entah
bagaimana caranya, hal itu pasti akan terjadi. Masa depan masih menjadi misteri.”
“Kau tak akan mengerti, Oppa. Kami sudah berpacaran selama dua
tahun. Tapi dia dengan mudahnya berselingkuh dan memutuskanku. Aku sakit hati.”
“Arra, aku pun pernah mengalaminya. Kekasihku dijodohkan kedua
orangtuanya. Sebagai anak yang berbakti, dia menerima keputusan itu. Aku pun tak
kuasa mencegahnya. Saat itu kami baru saja lulus kuliah dan aku belum memiliki
pekerjaan.”
“Mianhae, Oppa. Aku tak tahu jika kamu—“
“Gwaenchana. Aku sudah mengikhlaskannya. Kelak jika kami berjodoh,
dia pasti kembali padaku. Kalaupun tidak, mungkin Tuhan telah menuliskan nama
lain untukku. Bukan begitu? Sekarang, tersenyumlah. Hadapi kenyataan, sepahit
apapun itu. Kau pasti mampu melaluinya.”
“Gomawo Oppa. Nasehat darimu akan selalu aku ingat.”
Kenangan akan
pertama kalinya aku mengenal lebih dalam sosok Ji Yeon. Sebuah percakapan yang
terjadi begitu saja saat aku bermain ke Kyunghee Universitas. Kampus Ji Yeon, kampus
tempatku menempuh gelar sarjana dulu.
Sebenarnya kami
telah lama saling mengenal. Ji Yeon adik tingkatku di Senior High School. Usia
kami terpaut tiga tahun. Kebetulan dia mengikuti kegiatan baksos, dan saat dia masuk
aku menjabat sebagai ketua. Dua tahun kami saling mengenal di kampus. Sebatas
teman, masing-masing dari kami mempunyai kekasih. Hingga hari itu aku
mendapatinya sedang menangis di dekat Fakultas Seni.
Ji Yeon, apakah
kau merasakan hal yang sama? Mungkinkah kau akan menerimaku untuk mengisi
kekosongan hatimu? Dua tahun berteman, satu tahun berhubungan tanpa status
sudah cukup bagiku untuk mengenal kepribadianmu. Entah sebuah kesialan atau
keberuntungan bagimu jika mengetahui aku telah jatuh hati padamu. Jika boleh
aku memohon, aku berdoa semoga kau menganggap hal ini sebagai sebuah
keberuntungan.
~~~~~000~~~~~
“Would
you marry me?” tanyaku lagi.
Ji Yeon
tersenyum lembut. Sebuah senyuman yang menggoda dan penuh arti. Aku makin
berdebar menanti jawaban apa yang akan dia berikan.
“Kau mau
mendengar jawaban seperti apa, Oppa?”
“Em... itu…
terserah padamu Ji Yeon-ah.” Tergagap aku menjawab pertanyaan darinya. Gadis
ini menggodaku ternyata. Apa dia tidak tahu aku sangat gugup menantikan jawaban
darinya. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipisku, bahkan dapat kurasakan
tangan-tanganku mulai basah.
“Begitu, Oppa
yakin tidak akan kecewa dengan jawaban dariku?”
Kesusahan aku
menelan ludah. Menyiapkan mental mendengar kalimat yang akan diucapkan Ji Yeon.
“I will. Ne, aku mau Oppa.” Katanya
lembut lalu mengambil bunga mawar dari tanganku. Terdengar riuh suara tepuk
tangan beberapa pengunjung di taman ini. Aku mengusap tengkukku, menutupi
kegugupan yang kurasakan.
Ji Yeon
membantuku berdiri. Dia menatapku lembut, seolah mengatakan jika dia sangat
bahagia. Aku membalas tatapan matanya, sebuah lengkungan ke atas terbentuk dari
kedua sudut bibirnya. Seperti sebuah virus yang menyebar, aku ikut tersenyum.
Kutarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Membiarkan Ji Yeon merasakan degup
jantungku yang berdetak di atas normal. Biarlah gadis ini tahu betapa aku
sangat mencintainya.
Tuhan,
rencanamu begitu indah. Saat aku kehilangan orang yang kusebut kekasih,
ternyata itu menjadi jalanku untuk menemukan pasangan hidupku. Aku tak
menyangka ternyata tulang rusuk yang Kau takdirkan untukku adalah orang yang
selama ini berada di sekitarku.
---fin---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar