Kamis, 06 Februari 2014

[FanFiction] Can I Love You? | END

Part 1 : Undeclared Love
Part 2 : Hello or Goodbye
Part 3 : Memory of Summer


Di bawah guguran daun pohon Maple, kubiarkan bayangmu pergi. Meninggalkanku sendiri dalam sembilu luka dan kesepian.




“Lalu apa rencanamu?”
“Putuslah dengan Min Hwa?”
MWO?!”
“Hahahaha. Lihatlah mukamu Yun-ah. Hahaha.” Tae Min tergelak melihat ekspresi Yun yang kacau. Ternyata benar dugaan Tae Min, Yun sangat mudah digoda.
“Tae Min-ssi, kau serius?” Tanya Yun diselimuti rasa penasaran. Dia ingin memastikan jika telinganya tak salah dengar.
“Yun-ah, bukankah tadi kau bilang akan membantuku?” Goda Tae Min sekali lagi.
Yun mengangguk pasrah. Melihat Yun yang belum juga mengerti maksud ucapannya, Tae Min segera menghampiri Yun dan memukul pundaknya pelan. Dia mengulum senyum. Karena tak tega melihat tatapan bingung yang dilemparkan Yun. Tae Min memutuskan untuk menjelaskan idenya.
“Kau putuslah dengan Min Hwa. Tidak benar-benar putus. Hanya sampai hari ulangtahun kami. Besok kau luang? Ajaklah Min Hwa ke pantai, dia sudah merengek minta ditemani ke pantai sejak seminggu yang lalu. Buat dia bersenang-senang, lalu putuskan dia. Beri saja alasan jika perusahaanmu melarang artisnya berpacaran. Dia pasti mengerti. Bagaimana? Arraseo?”

Yun mengelus dada, membiarkan detak jantungnya berjalan normal setelah sempat bekerja ekstra. Sial, umpat Yun dalam hati. Yun mengira Tae Min sungguh-sungguh dengan ucapannya. Yun meringis mendengar rencana Tae Min. Bisakah dia melakukan hal itu? Dia tak tega melihat Min Hwa menangis.
Tae Min melihat kegusaran Yun. Dia tahu betul jika idenya ini bisa dikatakan sedikit gila. “Jika tidak mau, tak usah dipaksa. Kau bisa membuat kejutan lain untuk Min Hwa. Nanti akan kubantu.”
Dahi Yun tampak berkerut, alis matanya saling bertaut. Dia masih berpikir, haruskah menyetujui usulan ini? Tapi, tinggal sebulan lagi hari penting itu tiba. Selain itu, Yun terlalu sibuk dengan Lunafly. Dia tak sempat membuat kejutan lain.
“Baiklah, aku menyetujuinya.”
---ooo---


“Yun-ah.”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Yun. Dia menoleh ke belakang, memastikan sosok yang telah mengganggu kesenangannya. Rupanya Tae Min. Tunggu dulu, Tae Min? Untuk apa dia kemari? Apakah terjadi sesuatu dengan Min Hwa?
Tae Min menempatkan bokongnya di ruang kosong di sebelah Yun. Tanpa permisi. Bahkan mengabaikan tatapan tanya dari Yun. Dengan santainya di duduk lalu menyodorkan segelas Coffee Late ke arah Yun.
“Minumlah, selagi masih hangat.”
Yun mengambil gelas kopi pemberian Tae Min. Bukan untuk diminum, dia meletakkannya di ruang kosong antara dirinya dan Tae Min. Tae Min tersenyum melihat rasa penasaran Yun. Dia maklumi, karena setelah kejadian itu baru kali ini Tae Min mau bertemu dengan Yun. Tae Min merasa bersalah atas idenya. Seandainya saja dia tidak mengusulkan ide konyol tersebut, saat ini Min Hwa pasti masih tertawa bahagia bersama mereka. Yah, penyesalan selalu datang terlambat bukan?
“Tenanglah. Tidak ada sesuatu yang buruk. Hanya saja… sudah lama kita tidak mengobrol. Apa salah jika aku ingin mengobrol denganmu?”
Yun mendesah lega. Melihat Tae Min yang begitu menikmati kopinya, dia mulai menyesap gelas miliknya. Pikirannya sedikit tenang setelah meminum Coffee Late tersebut.
“Bagaimana kabarnya? Apakah sudah ada perkembangan?”
Tae Min menggeleng lemah mendengar pertanyaan Yun. Kepalanya menunduk. Matanya sedikit meredup. Bahkan mendung mulai menggelayuti wajah tampannya.
“Dua hari kau tak datang. Apa kau lelah menunggunya?”
Ani. Bukan begitu. Kau tahu… Lunafly. Lunafly memiliki jadwal yang sedikit padat akhir-akhir ini.” Yun mengambil jeda sejenak. Melihat Tae Min yang tak merespon ucapannya. Dia mengusap wajahnya frustasi.
“Maafkan aku.” Lanjut Yun lemah. Dia bingung harus menjelaskan bagaimana lagi pada Tae Min.
“Kau tak perlu meminta maaf, Yun-ah. Teo sudah menjelaskan padaku. Kemarin dia menelpon kalau kalian sedang perform di Busan.”
Diam. Yun tak menyahuti ucapan Tae Min. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menikmati angin musim gugur. Yun mendongak, melihat guguran daun pohon maple yang menguning. Suasana seperti ini akan sangat romantis jika dinikmati bersama kekasih. Yun tersenyum miris. Kekasih? Satu kata yang membuat dada Yun terasa sesak.
“Yun-ah. Dong Hae hyung menitip pesan untukmu.”
Yun menoleh ke samping kanannya. Terlihat tangan Tae Min menyodorkan secarik amplop berwarna biru. Yun menerima surat itu penuh tanya. Ada apa lagi ini? Mengapa Dong Hae harus memberinya surat? Mengapa tidak mengirim pesan singkat saja?
“Bacalah, aku pergi dulu. Ada meeting dengan klien di Lee Company. Yah, kau tahu jika Dong Hae hyung saat ini sibuk.”
Yun mengangguk mengerti. Disambutnya uluran tangan Tae Min. Entah mengapa, Yun merasa sekarang adalah terakhir kalinya dia akan melihat sosok di hadapannya ini.
“Sampai jumpa lagi, Yun-ah.” Ujar Tae Min disertai senyum simpul. Senyuman tulus yang menambah kadar ketampanannya berkali lipat.
---ooo---

“Min Hwa kecelakaan. Dia baru pulang dari Myeongdong, mencari kado untuk Tae Min. Saat perjalanan pulang, dia melihat seorang anak kecil berlari ke tengah jalan untuk mengambil bola. Dari tikungan terlihat ada mobil sedan yang melaju ke arah anak kecil tersebut. Lalu Min Hwa…”
Yun menepuk punggug Donghae, memberinya kekuatan. Dia pun merasakan kesedihan yang sama. Orang yang mereka sayangi, saat ini terbaring lemah di ICU. Dokter mengatakan jika kecil kemungkinan Min Hwa akan sadar. Kepalanya terbentur cukup keras. Pendarahan di otaknya sangat parah. Min Hwa mengalami cedera otak yang menyebabkannya koma. Jika memang ada yang namanya keajaiban, Yun berharap itu akan datang pada Min Hwa.
“Bolehkah aku menjenguknya, hyung?”
“Tentu saja. Masuklah. Dia pasti senang mengetahui kau menjenguknya.”
Yun tersenyum mendengar perkataan Donghae. Ada terbersit sesal yang menohok hatinya. Yah, seandainya saja dia tak menyetujui usulan Tae Min. Kalau saja dia masih bersama Min Hwa, dia pasti bisa menjaganya. Mungkin kecelakaan itu bisa dihindari. Seandainya, yah, Yun hanya bisa berandai-andai. Yun tahu pasti waktu tak bisa berjalan mundur.
Yun menlangkah pelan memasuki ruang ICU. Sangat pelan. Dia takut menganggu pasien yang lain. Di ruangan tersebut ada 3 pasien yang menempati, termasuk Min Hwa. Yun berjalan ke ranjang Min Hwa yang terletak paling ujung. Dekat dengan jendela. Diletakkannya Krisan ungu yang tadi dia bawa di atas nakas. Meja kecil yang terletak di sebelah ranjang Min Hwa.
Anyeong Min Hwa-ya. Bagaimana kabarmu? Maaf karena baru menjengukmu sekarang.” Tangan Yun terulur meraih tangan kanan Min Hwa yang bebas dari alat medis. Digenggamnya erat tangan tersebut, tak ingin melepasnya lagi. Mata elangnya mulai berkaca-kaca.
“Min Hwa-ya, apa kau tak lelah terus-terusan tidur seperti ini? Ireona palli. Hari ini ulang tahunmu, heum? Apa kau tak ingin merayakannya denganku? Bangunlah chagi.”
Hening. Bulir bening mulai menetes di sudut mata Yun. Dibiarkannya tetesan itu menganak sungai. Untuk saat ini dia benar-benar merasa hancur.
Chagi, lihatlah. Aku membawa bunga kesukaanmu. Crysanthemum, aku membawakan Krisan ungu untukmu. Cantik sekali. Ah, tapi kau jauh lebih cantik dari bunga-bunga itu.”
Tangan Yun yang bebas menggapai pipi putih Min Hwa. Dibelainya lembut, lalu disingkirkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah Min Hwa. Kini isakan kecil mulai meluncur dari bibir tipis Yun. Kepalanya tertunduk di atas ranjang. Tangan kanannya semakin erat menggenggam tangan Min Hwa. Pemuda yang terlihat tegar itu kini tak bisa lagi membendung kepedihannya.
Mianhae. Maafkan aku Min Hwa-ya. Aku tak bisa menjagamu.” Yun mulai meracau. Tangan kirinya dia gunakan untuk membekap mulutnya. Menahan agar tangisnya tidak pecah dan mengganggu pasien lain. Biarlah kali ini Yun terlihat lemah. Dia sama sekali tidak peduli. Yun ingin menguragi rasa bersalahnya. Dia tidak mau kisah cintanya berakhir dengan tragis seperti ini. Min Hwa harus sadar, harus. Dia ingin meminta maaf secara langsung pada Min Hwa.
Di depan pintu ruang ICU, berdiri dua orang pemuda. Mereka saling bertatapan. Pemuda yang tubuhnya sedikit lebih tinggi kembali duduk di kursi tunggu. Dia, Tae Min, tak sanggup melihat kakaknya terbaring tak berdaya di dalam sana. Sedangkan pemuda yang satunya masih setia mengawasi adiknya. Dia ikut meneteskan air mata saat melihat Yun, kekasih adiknya, terisak di dalam sana. Merasa tak kuat, Dong Hae memnutuskan untuk kembali duduk. Tepat di bangku sebelah Tae Min. Ditepuknya pelan punggung Tae Min. Dia tahu betul apa yang dirasakan Tae Min. Perasaan bersalah. Takut kehilangan.
---ooo---

Yun terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Malam ini dia kembali bermimpi kenangannya beberapa bulan yang lalu.  Peluh membasahi keningnya. Yun menengok ke dinding, jam satu dini hari. Berarti baru dua jam matanya terpejam.

Langkah kaki Yun berayun pelan menuju dapur. Kerongkongannya kering. Setelah menghilangkan rasa hausnya, Yun kembali ke kamarnya. Saat melewati meja belajar, dia melihat surat yang tadi siang diberikan oleh Tae Min. Diraihnya surat tersebut. Yun duduk di tepi ranjang, tangannya sibuk membuka amplop. Ada selembar surat yang menjadi isi dari amplop tersebut.

Yun-ah,
Mianhae. Maaf karena aku tak bisa menemui secara langsung. Maaf jika aku harus egois dan tidak melibatkanmu dalam keputusan ini. Jeongmal mianhae.

Kening Yun berkerut, bingung dengan kalimat awal yang Dong Hae tulis di surat tersebut. Rasa penasarannya semakin menumpuk. Akhirnya Yun kembali meneruskan membaca surat dari Dong Hae tersebut.

Malam ini kami akan berangkat ke Amerika. Dokter mengatakan kecil kemungkinan Min Hwa akan sembuh. Di sini, sudah tidak ada harapan untuknya. Tapi… aku sebagai kakaknya tak bisa membiarkan adikku pergi begitu saja. Kau pasti mengerti itu bukan?
Aku dan Dong Hwa hyung sudah membicarakan kondisi Min Hwa dengan beberapa dokter di Amerika. Mereka menyarankan untuk membawa Min Hwa ke sana. Lebih cepat lebih baik. Itu yang mereka bilang.
Awalnya aku ingin memberitahumu dan menanyakan pendapatmu. Tapi… aku tahu kau pasti akan sedih jika mengetahuinya. Karena itu… karena itu maafkan atas keegoisan kami ini. Kami membawa Min Hwa tanpa seijinmu. Kuharap kau mengerti, Yun-ah.
Lee Dong Hae




Yun terdiam. Dia memandang kertas putih itu dengan tatapan tak percaya. Membawa Min Hwa pergi? Malam ini? Itu artinya dia tak dapat lagi bertemu dengan Min Hwa?
Air mata Yun mengalir dari sudut matanya. Dia terisak pelan. Beberapa menit kemudian semakin keras terdengar. Kini bukan lagi isakan yang keluar dari bibir tipis Yun. Tapi sebuah raungan yang memilukan. Jika ada yang melihatnya saat ini. Mereka pasti tak akan tega melihatnya. Yun, kehilangan cinta pertamanya. Dia harus melepaskannya pergi. Jangankan mengucap kata pisah dengan selayaknya. Bahkan Yun belum sempat mengucap maaf pada Min Hwa.
Yun menatap bingkai photo yang tergeletak di atas meja. Photo yang menampilkan sepasang kekasih dengan ceria berjalan di bawah guguran cherry blossom. Yah, itu adalah photo Yun dengan Min Hwa. Photo yang diambil saat kencan pertama mereka. Kencan yang manis saat musim semi lalu.
Yun meraih photo tersebut. Diusapnya pelan seolah dia sedang menyentuh gadis di bingkai tersebut secara langsung. Bibirnya kembali bergetar. Dipeluknya erat bingkai photo tersebut. Menyalurkan rasa sakit yang mendera. Kini gadisnya telah pergi. Tak ada yang bisa Yun lakukan.
“Selamat tinggal Min Hwa. Semoga kita dipertemukan kembali di kehidupan yang lain. Kelak, jika aku bertemu lagi denganmu. Ijinkan aku sekali lagi untuk mencintaimu. Saranghae.”
 




#TantanganEmpatMusim #KampusFiksi #AutumnStory

1 komentar:

  1. Kyyaaaa.... sad ending. >,<

    Yun-ah.. bersabarlah.
    Ada aku di sini yang akan selalu menemanimu sampai dia yang kau tunggu kembali. :D #EEeaaaakkkk

    ^Park Sung Rin^

    BalasHapus